Pemilu legislatif sudah semakin dekat. Tak sampai satu bulan lagi perhelatan akbar untuk menentukan nasib rakyat Indonesia yang diwakili oleh para calon senator ini. Saat ini semua partai peserta pemilu sedang melakukan kampanye terbuka ditengah masyarakat. Tentunya hal ini dimaksudkan agar masyarakat bisa mengenal lebih jauh profil partai yang akan dipilih dan mencari simpati masyarakat agar masyarakat percaya bahwa partai-partai ini memang layak untuk dipilih menjadi penyambung lidah rakyat. Para partai peserta pemilu dan para calon legislatif umumnya melakukan kampanye terbuka dengan mengadakan ajaran musik seperti dangdutan, mengundang penyanyi ibukota, dan jalan santai. Bila kita perhatikan apabila anda pernah langsung mengikuti sebuah kampanye partai politik yang mengusung panggung maka tengoklah dibarisan terdepan, tengah dan belakang pasti ada saja sekelompok simpatisan partai yang membawa bendera partai ukuran jumbo serta berdandan aneh semisal warna rambut disemir mencolok.
Mungkin itu salah satu gambaran simpatisan partai yang sangat loyal dan fanatic terhadap parati politik dan calon legislatif yang menjadi idolanya bahkan inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Penulis memiliki seorang teman bernama Kusuma (bukan nama sebenarnya) seorang sarjana fresh graduate disalah satu universitas.Saat ini Kusuma belum bekerja dan dia ikut sebagai simpatisan fanatic sebuah partai yang berhaluan agamis. Penulis mengenal Kusuma sudah satu setengah tahun karena aktif dalamsebuah organisasi yang sama. Kusuma kesehariannya hanya promosi partai yang ia usung mulai dari jejaring sosial, world of mouth (dari mulut kemulut), hingga sms ke teman-teman tedekatnya. Penulis sampai bosan mendapatkan pesan singkat via teleppon seluler yang dikirimkan Kusuma, karena terlalu berlebihan dan sangat mengganggu sekali.
Sempat penulis tanyakan kepada Kusuma mengenai fee yang didapat menjadi simpatisan partai yang ia usung, jawabannya simpel ia sama sekali tidak mendapatkan fee dan hanya dibayar pahala dari balasan dari Tuhan. Penulis sempat berdebat dengan Kusuma karena pemahaman pemikirannya. Penulis sempat memberikan nasehat bahwa lebih baik dirinya mencari kerja untuk kehidupan yang lebih baik ketimbang ikut-ikutan menjadi simpatisan sebuah partai politik. Kasihan juga orang tuanya yang banting tulang membiayai kuliah jika ujung-ujungnya hanya diperdaya menjadi sebuah boneka partai politik untuk mencari kekuasaan. Toh, juga menjadi simpatisan partai tidak memberikan jaminan kelangsungan hidup teman penulis ini. Hemat penulis, jangan sia-siakan masa muda untuk menjadi simpatisan partai, karena nanti pada akhirnya akan menyesal dan membuat orang tua kita menjadi kecewa karena kita tidak menjadi orang sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H