Dalam industri perfilman, dahulu ada saatnya film Indonesia berkembang dengan baik. Sebaliknya ada saat film Indonesia seolah mati suri. Beberapa tahun belakangan, sejak tahun 2000 perlahan tapi pasti film Indonesia bangkit kembali untuk menjadi lebih baik.Untuk memajukan industri perfilman Indonesia, harus ada sinergi positif dari berbagai pihak. Selayaknya setiap film Indonesia yang harus terus ada karena dibuat dengan antusias untuk menyampaikan pesan. Apresiasi terhadap karya berkualitas bukan hanya dengan menonton film produksi luar negeri tapi juga produksi anak bangsa. Film Indonesia harus tetap ada sebagai cerminan kebudayaan kita. Di dalam film selalu terdapat berbagai unsur kebudayaan. Kita bisa belajar banyak hal dari sebuah film.
Akademi berbagi merupakan gerakan sosial yang bertujuan untuk berbagi pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang mengadakan kegiatan berupa kelas-kelas pendek yang di ajarkan oleh para ahli dan praktisi yang ahli di bidangnya masing-masing. Di Indonesia, gerakan akademi berbagi telah ada di 30 Kota dan salah satunya ada di Bali. Di Bali, Kelas Akademi Berbagi dipimpin oleh Fakhry Bakhar dan telah berusia empat tahun. Di Akademi Berbagi Kelas 28 mengadirkan relawan guru Erwin Arnada. Erwin Arnada seorang wartawan, sutradara, dan produser film Indonesia. Arnada mulai tertarik pada dunia jurnalistik pada tahun 1984, dan setelah bekerja sebentar sebagai fotografer, ia diterima magang di surat kabar mingguan Editor. Sejak tahun 1990, ia bekerja sebagai editor di berbagai media cetak, memasuki dunia perfilman Indonesia pada tahun 2000.
Pada tahun 2012, Arnada dinominasikan sebagai Sutradara Terbaik FFI atas film Rumah di Seribu Ombak, yang diangkat dari novel yang ditulisnya ketika mendekam di penjara.Hingga tahun 2013, Arnada telah terlibat dalam pengerjaan sembilan film, sebagian besarnya sebagai produser. Berbagai karyanya diantaranya Tusuk Jelangkung (2002), 30 Hari Mencari Cinta (2003), Catatan Akhir Sekolah (2004), Cinta Silver (2004), Alexandria (2005), Jelangkung 3 (2007), Jakarta Undercover (2007), Asmara Dua Diana (2009), Rumah Seribu Ombak (2012). Di Akademi Berbagi Bali Kelas ke-28, Erwin Arnada membagikan materi mengenai Film and Local Wisdom.
Akademi Berbagi Bali Kelas 28 yang berlokasi di Angkringan Komodo Jalan Komodo Sanglah, Denpasar ini dihadiri oleh sekitar 30 orang yang rata-rata adalah anak muda dari berbagaikalangan. Di awal kegiatan Akademi Berbagi Kelas 28 para peserta yang hadir mendapat kejutan dari Erwin Arnada. Pasalnya Erwin Arnada memutarkan cuplikan film Jejak Dedari yang belum rilis di bioskop manapun di Indonesia.
Film Jejak Dedari yang dibintangi oleh pemain film seperti Christien Hakim, Reza Rahardian, Alex Komamng dan para pemain film pendatang baru ini mengambil setting cerita tentang sebuah desa di Singaraja Bali yang hampir sebagian besar masyarakatnyamenyandang tuna rungu dan wicara. Nama desaini adalah Desa Bengkala atau sering disebut juga desa kolok karena sebagian masyarakatnya menyandang disabilitas.Erwin Arnada sanga tertarik mengambil tema mengenai kerarifan lokal di Bali karena menurutnya Bali merupakan episentrum Kesenian Dunia.
Menurut pria kelahiran Sumatera Barat ini Kearifan Lokal memiliki fungsi edukasi untuk masyrakat kita yang ada di Indonesia dan patut untuk dilestarikan. Mantan wartawan disalah satu harian ibukota ini juga berujar bahwasannya kearifan lokal merupakan sebuah refleksi budaya di masa lalu. Erwin Arnada membutuhkan jenjang waktu riset selama dua tahun untuk membuat film Jejak Dedari. Ia mengangkat kearifan lokal di film ini berupa kesenian Wayang Sapu Leger, Tarian Sakral Sanghyang Dedari, Karma dan Taksu. Pria berusia 51 tahun ini melakukan pendekatan antropologis dan filsafat dalam film Jejak Dedari.
Erwin Arnada menggunakan acuan 60 buku referensi termasuk lontar bali yang dibantu penerjemahannya oleh pemangku (Pemuka Agama Hindhu) untuk membuat film yang akan rilis di tahun 2015. Sutradara yang memenangkan enam piala FFI untuk Film Rumah di Seribu Ombak ini harus melakukan ritual keagamaan Hindu seperti melukad dan menghaturkan pejati demi mendapatkan “ roh” dalam film yang ia garap. Saat melakukan riset dengan melakukan wawancara kepada kepala Desa Bengkala ia agak sedikit terkaget-kaget karena ternyata kepala desa setempat malah memberikan sebuah Koran New York Times terbitan medio 2007. Artinya sudah dari sejak lama banyak wartawan dan dokter yang meneliti desa tersebut karena warganya dari turun temurun menyandang disabilitas. Masyarakat Bali sendiri jarang mengetahu desa yang menjadi lokasi syuting Jejak Dedari karena desa ini sangatlah terpencil dan jauh sekali dari kehidupan kota.
Banyak peserta Akademi Berbagi Kelas 28 yang mengajukan pertanyaan seputar film Jejak Dedari dari yang ringan sampai yang sangat kritis. Erwin Arnada juga mengatakan untuk membuat film yang mengambil tema kearifan lokal suatu daerah harus menggunakan pengalaman empiris. Maksudnya adalah seorang sineas harus turun langsung dan melakukan riset ke suatu daerah untuk mendapatkan data acuan dalam membuat film. Jangan sampai film yang bertemakan kearifan lokal menjadi kontroversi saat penayanagan karena menyimpang dari keaslian budaya tersebut. Diakhir acara para peserta kelas akademi berbagi Bali 28 berfoto bersama Erwin Arnada.
[caption id="attachment_334498" align="aligncenter" width="300" caption="Erwin Arnada dan Peserta Akber Bali Kelas 28 (Sumber : Dok.Pri)"][/caption]
[caption id="attachment_334499" align="aligncenter" width="300" caption="Thriller Film Jejak Deadri (Sumber : Dok.Pri)"]
[caption id="attachment_334500" align="aligncenter" width="300" caption="Erwin Arnada saat mempresentasikan film Jejak Dedari (SUmber : Dok.Pri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H