Ogoh-ogoh merupakan replika anyaman boneka terbuat dari bamboo yang umumnya berbentuk Bhuta Kala (raksasa sebagai simbol hal-hal yang buruk), cerita dalam kisah Mahabrata , ataupun cerita para Dewa-Dewi dalam Mitologi Kepercayaan Agama Hindu. Ogoh-ogoh yang sudah dihias ini diarak mengelilingi Patung Catur Muka sambil diiringi musik gamelan khas Bali.
Ukuran Ogoh-ogoh yang dibuat oleh pemuda-pemudi Banjar ukurannya beragam dari yang super besar hingga minimalis. Kehadiran pawai Ogoh-Ogoh menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menikmati hari Raya Nyepi di Bali. Kesempatan setahun sekali tersebut banyak dimanfaatkan warga di Kota Denpasar dan para wisatawan mancanegara untuk mengabadikan momen pawai Ogoh-Ogoh.Â
Tangan-tangan kreatif para pemuda di Denpasar yang tergabung dalam Sekaa Banjar mampu menciptakan ogoh-ogoh seperti nampak hidup. Sejumlah pengunjung nampak riuh bertepuk tangan manakala sekumpulan pemuda banjar memutar ogoh-ogoh dengan kecepatan maksimal.
Para pengunjung juga terlihat berswafoto bersama keluarga dan rekan mereka. Hasil jepretan swafoto mereka langsung diunggah dissocial media sebelum koneksi internet jaringan provider dimatikan tepat pukul 06.00 wita keesokan harinya untuk menghormati hari raya Nyepi. Ogoh-ogoh yang  diarak melewati Patung Catur Muka Kota Denpasar sebagai titik nol kilometer Bali berasal dari sejumlah Banjar dari Empat Kecamatan yakni Denpasar Barat, Denpasar timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara. Usai dibawa mengelilingi Patung Catur Muka, selanjutnya Ogoh-Ogoh dari berbagai banjar ini dibakar di Setra (kuburan) sebagai simbol menetralkan kekuatan jahat yang ada di suatu kawasan Desa.
Namun sayang usai pawai Ogoh-Ogoh berakhir banyak masyarakat yang kurang sadar akan kebersihan. Para pengunjung yang memadati kawasan Patung Catur Muka dan sekitarnya banyak meninggalkan sampah berupa botol minuman kemasan yang terbuat dari plastik, bungkus makanan ringan, dan sampah steroform di pingir jalan. Padahal banyak ditemukan tong sampah disekitar lokasi pawai Ogoh-Ogoh.Â
Hal tersebut membuat Petugas Dinas Kebersihan dan Pertamanan harus ekstra keras membersihkan jalan-jalan protokol di Kota Denpasar hingga larut malam.
Salah seorang pengunjung pawai Ogoh-Ogoh yaitu Wayan Mudra mengatakan bahwa kegiatan pawai Ogoh-Ogoh merupakan pawai budaya yang begitu luar biasa dari tahun ke tahun sehingga perlu dilestarikan . Wayan mengungkapkan sebaiknya pawai Ogoh-Ogoh lebih banyak diiringi musik gamelan tradisional ketimbang musik dugem dan dangdutan.
"Pawai Ogoh-Ogoh merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya Bali, ada baiknya iringan musik pawai ogoh-ogoh lebih banyak menggunakan gamelan Bali. Kurangilah musik-musik dugem dan koplo dalam pawai Ogoh-Ogoh karena mengurangi makna proses pengrupukan" himbaunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H