Mohon tunggu...
Herdian Armandhani
Herdian Armandhani Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemuda yang Ingin Membangun Indonesia Melalui Jejaring Komunitas

Kalau Tidak Mampu untuk Menjadi Pohon Beringin yang Kuat untuk Berteduh, Jadilah Saja Semak Belukar yang Sisinya Terdapat Jalan Setapak Menuju Telaga Air

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cok Sawitri, Seniman yang Tidak Pernah Berhenti Berkarya

10 November 2012   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

maka,

Tanah terbelahlah.

aku pulang menyeru padamu, Ibu

Setra Gandamayu pun hening

membisulah semua pohon

bila ditanya ke mana mereka pergi

ke masa depan……

(Novel Jandadari Jirah,Cok Sawitri)

[caption id="attachment_215712" align="aligncenter" width="300" caption="Cok Sawitri Saat Membacakan sebuah karya puisi (www.coksawitrisidemen.blogspot.com)"][/caption] Masyarakat Bali mengenalnya sebagaiaktifis teater,novelis penulis artikel dan pusil,budayawan, dan seniman. Wanita kelahiran desa Sidemen,Kabupaten Karangasem,Provinsi Bali 44 tahun yang lalu ini pjuga dikenal gigih untuk menolak RUU Pornografi dan Pornoaksi sebab undang-undang tersebut sangat bertentangan dengan ke-bhinekaan-an yang ada di Indonesia. Di dalam seni teater sendiri Cok Sawitri pernah berkali-kali berkolaborasi dengan sejumlah seniman lokal dan internasional. tema yang diusung Cok sarat dengan perlawanan terhadap kemapanan dan pandangannya terhadap budaya dan kearifan lokal. Naskah puisi dan novel beliau sarat falsafah dan penuh muatan perenungan

[caption id="attachment_215713" align="aligncenter" width="300" caption="Cok Sawitri memimpin prosesi Gerebek Aksara Prasada di Bedugul 20 Mei 2011 (Sumber : www.bacabsli.com)"]

1352549660657067178
1352549660657067178
[/caption] Cok adalah kependekan dari Cokorda, nama yang harus disandangnya sebagai keturunan kasta Brahmana Ksatria. Beliau merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak duduk di bangku sekolah dasar beliau sudah sangat akrab sekali dengan puisi. Tradisi turun temurun di keluarga beliau sangat memungkinkan beliau untuk memperoleh referensi banyak bacaan. Bahkan saat beliau duduk dikelas dua SMP di daerah asalnya,karya puisi beliau sudah dimuat disalah satu media cetak terkemuka. Cerpen perdananya yang berjudul “kulkul” merupakan debut awalnya

Ide dan kreatifitas beliau didunia seni seakan tidak pernah ada habisnya. Karya –karya beliau antara lain Meditasi Rahim (1991), Pembelaan Dirah (1996), Puisi Ni Garu(1996),Permainan Gelap Terang (1997),Monolog Pembelaan Dirah (1997),Hanya Angin, Hanya Waktu (1998),Puitika Melamar Tuhan (2001),Anjing Perempuanku (2003),Aku Bukan Perempuan Lagi (2004),novel Janda dari Jirah (Juni 2007), PuisiKering (Gadis di Bawah Pohon Ara) (2008), Rumah Ikan Asin (2008)Rum,Akhirnya Hatinya Patah (2009), dan masih banyak karya beliau lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini, Jika anda ingin menikmati karya beliau silahkan mampir ke coksawitrisidemen.blogspot.com .

Salah satu novel beliau yakni Janda dari Jirah masuk nominasi penghargaan karya sastra bergengsi yakni Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007. Suatu pencapaian prestasi yang sangat luar biasa. Penulis sendiri berkenalan dengan seorang Cok Sawitri dalam sebuah kompetisi teater antar SMA tahun 2011 lalu. Sosok yang penulis bisa tangkap bahwa seorang Cok Sawitri adalah sosok yang humoris, santai dan terkadang serius. Di Tahun 2011 pula Cok Sawitri menerbitkan novel berjudul Tantri,Perempuan yang Bercerita. Novel ini menyuguhkan penggalan-penggalan fable yang mengandung keteladanan soal bagaimanan sepatutnya kita menghargai dan menjalani hidup. Karya-karya yang beliau ciptakan selalu berisikan pesan moral sehingga para penikmat seni dapat memahami secara lebih dalam karya beliau.

Cok Sawitri aktif pula di beberapa organisasi diantaranya sebagai pendiri Forum Perempuan Mitra Kasih Bali ditahun 1997 dan Kelompok Tulis Ngayah ditahun 1989. Beliau juga tercatat sebagai salah satu dari penasehat The Parahyang untuk majelis Desa Pekraman atau desa adat) di Sidemen, Karangasem, Bali. Penulis yang pernah mendengar langsung pembacaan salah satu puisi yang beliau ciptakan sempat merinding sebabmimik beliau sangat menjiwai sekali dan luar biasa. Tanggal 3-7 Oktober 2012 kemarin beliau juga menjadi juri diajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang berlangsung di Pura Dalem Ubud Gianyar,Bali. Seorang seniman memang tidak pernah ada kata berhenti untuk berkarya. Berkarya terus untuk Bangsa ini, Bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun