Mohon tunggu...
Arman Marwing
Arman Marwing Mohon Tunggu... -

Arman marwing, S.Psi., M.A. : Pegiat psikologi klinis dan Sosial. Peneliti Psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Menakar Eksistensi Pakaian Islami?”

23 Juni 2016   10:37 Diperbarui: 23 Juni 2016   10:46 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pakaian adalah sebuah simbol kepentingan. Dari sana pulalah kita bisa menakar kepentingan setiap orang. Ekspektasi-ekspektasi yang ingin disampaikan kepada orang lain jelas terlihat melalui tampilan pakaian yang kita kenakan. Seorang BOS akan ingin terlihat berwibawa dengan tampilan jas halus keluaran rumah mode paris dan lilitan leher di lehernya, seakan ingin meninggalkan kesan ekslusif bagi para bawahannya.Hal yang sama juga terlihat dari perilaku berbusana dari para eksekutif-eksekutif muda yang nyaris sama, semua tampil necis, rapih dan harum.

Seakan ingin menawarkan kesan sebagai pegiat ekonom yang ingin dihargai dan patut diistimewakan. Agar memberi kesan baik, tentu saja berbusana dengan tampilan yang layak adalah sebuah keniscayaan. Toh, manusia selama ini memang dikenal dengan mahkluk visual, dimana melalui tayangan visual lah kita membuat penilaian-penilaian.

Dari kesan visual pula kita dapat membuat pembedaan identitas seseorang, baik berdasarkan suku, ras, agama, golongan tertentu.perbedaan berbusana yang beragam memang harus dihormati sepanjang hal tersebut sesuai dengan konteksnya. Meski setiap wilayah dan waktu memiliki kode-kode yang harus dipatuhi, pemaksaan terhadap orang lain untuk menggunakan busana yang sama dengan kelaziman masyarakat tertentu , tentu saja tidak dapat dibenarkan.

Penyesuaian busana hendaknya disandarkan atas rasa tenggang rasa individu dan atas kesadaran mendalam atas diri dan atas orang lain, bukan karena paksaan dan ketakutan yang mungkin ditimpakan orang lain terhadap dirinya.Sebab penggunaan busana bagi seseorang adalah sebuah pilihan sadar. Oleh karenanya, sangatlah disayangkan apabila ada pihak-pihak di masyarakat yang secara sengaja melakukan vonis dan pemaksaan baik secara fisik ataupun non fisik berupa stigma buruk bagi yang menentang atau menyalahi aturan baku dalam kelompoknya. Hukuman terberat yang paling kuat dan paling menekan adalah apabila busana kemudian dikatikan secara ketat sebagai sebuah keharusan karena telah dititahkan firman-firman suci, dimana menyalahinya adalah sebiah dosa.

Di Aceh , sebuah contoh yang paling jelas betapa dalam naungan syariat Islam, banyak warga, yang kebanyakan kaum wanita selanjutnya dikenakan hukum cambuk di depan khalayak karena kedapatan mengenakan celana jins, yang merupakan symbol tren pakaian asal Amerika dan dipandang tidak sesuai dengan nilai syariah setempat. Sementara itu di tempat-tempat lain, beberapa golongan mencoba mengklaim pakaian atau busana tertentu sebagai dress code utama Agama mereka, terlebih-lebih berpikir menjadikan busana tersebut sebagai alat assessment akhlaq seseorang. Sebagai contoh, Seseorang muslim tetapi tidak mengenakan “busana islami”sebagaimana yang mereka tetapkan, dinilai sebagai seseoang yang islamnya tidak “ Kaffah”. Istilah Kaffah sendiri merujuk pada pengertian “sempurna” . meski penafsiran kaffah itu sendiri menimbulkan perdebatan di kalangan para cendekiawan muslim, tetapi sebuah pertanyaan penting yang terlebih dahulu harus segera dijawab yakni Adakah busana Islam itu?

Jawabannya, tentu saja harus mengacu pada teks Al-qur’an , sebagai sumber hukum utama. Tentang busana, KH. Mustofa Bisri, atau Gus mus, menyatakan bahwa Al-qur’an sendiri memang menjelaskan tentang busana yang layak digunakan oleh kaum muslim yaitu busana yang fungsinya dapat digunakan untuk menutup aurat. Bagi perempuan, busana harus menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan tangannya, sedangkan bagi laki-laki, busana minimum adalah tertutupnya bagian pusat hingga lulut.

Hanya saja, lanjut Gus mus, Al-qur’an tidak memberikan penjelasan detil tentang pakaian Islam. Nabi Muhammad S.A.W sejak awal merintis dan menyebarkan Islam , tidak pernah sekalipun berpikir untuk mengintrodusir pakaian Islam. Dibanding memperkenalkan identitas baru agama melalui pakaian, beliau lebih memilih untuk mengikuti cara berpakaian para penduduk makkah saat itu yang dicirikan dengan sorban, jubah bagi laki-laki dan burqah bagi perempuan. Pertanyaannya adalah apakah layak, sebuah busana produk budaya tertentu, yakni produk busana arab harus digeneralisir secara ketat kepada budaya di belahan bumi lainnya, dalam konteks ini indonesia?jawabannya tentu saja, tidak. Pertanyaan selanjutnya, Apakah kemudian dengan mengenakannya kemudian kita menjadi orang yang alim, sebagaimana yang dipercayai para pemuja “ ke Kaffah”an di tanah air ? lagi-lagi jawabannya ,tentu saja tidak, sebab sebagai produk budaya, busana arab tersebut membolehkan setiap orang mengenakannya.

 Abu jahal sebagai tojoh antagonis dalam sejarah Islam ,juga mengenakan pakaian yang sama dengan Nabi Muhammad, bagaimana kesamaan berpakaian antara keduanya, dapat digeneralisir sebagai kesamaan akhlaq? Tentu saja jawaban pertanyaan ini dapat kita renungkan kembali. Hal yang paling mungkin membedakan akhlaq keduanya agar kita tidak silap menilai berdasar busana, adalah nabi Muhammad terpancar basam, istilah bahasa arab untuk “senyuman” penuh kasih sayang yang sangat terpancar di wajahnya, yang menghasilkan keteduhan hati bagi yang melihatnya, sedangkan abu jahal sendiri, di wajahnya memancarkan kemarahan penuh kebencian yang menimbulkan keresahan dan ketakutan bagi orang yang melihatnya. Jika demikian adanya, maka tentu saja ungkapan bijak dari China yang mengatakan “ seringkali kita berfikir dengan melihat, oleh karena itu kita mudah dikelabui” dapat memberikan pelajaran bagi kita betapa penilaian berdasar pandangan visual yang mengesankan itu, terdapat kelengahan yang dapat berbuntut penyesalan di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun