Mohon tunggu...
Komang Armada
Komang Armada Mohon Tunggu... -

Petani

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Menunjukan Bangsa

25 April 2015   18:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:41 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Judul di atas adalah salah satu peribahasa yang saya dengar dari guru bahasa Indonesia saya semasa Sekolah Dasar dulu yang sampai sekarang tetap suka saya ingat.Peribahasa yang bertahun-tahun kemudian saya amini kebenarannya. Berbahasa itu proses pergulatan, bahkan pada tataran yang lebih ekstrim lagi, bahasa itu sejarah pertikaian dan dominasi.Bisa oleh sebab latar belakang sosial budaya si penutur, pendidikan, emosi, konstruksi berpikir, kekayaan kosa kata, dan seterusnya.

Sebuah risalah memuat fakta menarik : kekayaan kosa kata kita yang efektif kita gunakan baru sekitar 30 persen. Sebagai konten pendidikan, karya-karya berbasis kebahasaan maupun sebagai perangkat bertutur sehari-hari.Tujuh puluh persen sisanya ada yang tetap tersimpan di indeks kamus, sebagian tertimbun sebagai kekayaan ‘tersembunyi’ khasanah literasi, manuskrip maupun naskah-naskah kuno yang oleh kendala tertentu tidak mungkin atau malas kita baca.

Bahasa bersifat arbitrer yang bermakna tidak tetap, mana suka. Seakan mengamini dalil tadi, timbulah upaya praktis dan cara-cara pintas yakni menyerap, memadankan, mengadaptasi unsur bahasa lain masuk ke dalam bahasa sendiri.Menyebut beberapa contoh, kita lebih sering mendengar sorry dalam meminta maaf ketimbang kata ‘maaf’ itu sendiri.Kita dengan suka-suka memilih kata madani (dari bahasa Arab) untuk menggantikan kata sipil , dekade menggantikan dasawarsa, komplain menggantikan keluhan dan banyak contoh lagi.

Memang, mustahil sebuah bahasa memiliki kerangka sempurna, lantas sanggup hidup sendiri tanpa bersinggungan dengan anasir-anasir lain. Ia butuh menyerap bahasa lain sebagai pengaya.Bahasa Indonesia pun , kita tahu, sangat kaya oleh unsur-unsur yang berasal dari bahasa-bahasa daerah.

Menyerap itu baik-baik saja, tapi sekali lagi, keseruan pergulatan psikis si penutur sungguh menarik untuk diamati. Pergulatan yang mencerminkan ‘perang’ bagaimana ia memilah, memilih-milih, berdaya-upaya maksimal memenangi ‘perang’ di wilayah linguistik jangkauannya.Hasilnya kemudian bisa mewujud dalam berbagai ekspresi personal, bisa berupa ketidakpercayaan diri atau sebaliknya, sekadar gengsi-gengsian dalam berbahasa atau malah menunjukan kebanggaan terhadap bahasa sendiri.

Di desa saya, desa pertanian di sebuah pelosok di Bali utara yang sejak awal 1990-an mulai mengenyam pariwisata, belakangan, orang-orangnya mulai fasih mengucapkan breakfast sebagai pengganti kata mesampel (bahasa Bali). Dua kata yang sama-sama berarti sarapan, hanya berbeda era, berbeda rasa ketika mengucapkannya. Menyebut mesampel mulai terasa ketinggalan, udik.Kata ini pun ‘tahu diri’ dengan menghilang pelan-pelan.Barangkali mirip dengan proses kematian sekian khasanah kosa kata kita lainnya.

Perkara berbahasa sering membuat kita gagap. Dari seorang teman baik yang bekerja sebagai pemandu wisata di Bali saya beroleh cerita bagaimana beberapa kosakata—dengan cara unik--dipadankan.Dengan enteng teman saya menyebut buah nangka sebagai jackfruit ,belimbing sebagai starfruit, salak sebagai snakefruit.Saya tidak bermaksud berumit-rumit, hanya menyimpan penasaran dalam hati.

Ketika buah nangka, belimbing, salak harus dipaksakan dibuat padanannya, maknanya jadi bergeser.Tidak lagi otentik sebagai kosakata yang menyandang ruh bahwa ketiganya merupakan buah yang khas, identik dengan sebuah kondisi alam yang khas pula sebagai syarat tumbuh ketiganya, yakni alam tropis.

Belum lagi, misalnya, imajinasi tambahan yang kita paksa ‘bebankan’ ke benak wisatawan manakala mereka mengunyah buah belimbing mereka tidak bisa tidak menggambar bintang di kepala masing-masing, ataumembayangkan sisik ular untuk sebiji buah salak.Ada baiknya (ini dari sudut saya saja) para turis kita perkaya dengan khasanah kosakata kita sebagai negara tujuan wisata mereka sebagaimana kita juga banyak diperkaya oleh kosakata mereka.Kita tidak mau bersusah-sudah mencari padanan buat kata pizza, hamburger.Kita dengan senang hati tetap menyebut hamburger sebagai hamburger, pizza sebagai pizza, steak sebagai steak.

Seandainya tren memadankan itu kebablasan, mungkin akan tiba waktunya kita harus bersusah-payah menemukan padanan kata batik, gamelan, keris, kolintang, sasando, reog dan lain sebagainya.Untuk tujuan menyenangkan mereka para wisatawan?Untuk tujuan kepraktisan berbahasa?Atau jangan-jangan itu pengakuan kita atas dominasi mereka.Bahasa Indonesia, dengan begitu akan kehilangan perannya sebagai tuan rumah, sebagai bahasa ibu.

Salam buat teman kompasianer semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun