Gula adalah seorang perempuan yang selalu diselimuti kebahagiaan. Setiap harinya, ia menenun mimpi-mimpi dalam kehidupan kecilnya di desa. Pagi hari selalu penuh dengan aroma teh hangat dan suara burung-burung berkicau di jendela kamarnya. Hidupnya sederhana, namun ia selalu merasa cukup. Gula dikenal di kampungnya sebagai sosok yang murah senyum, selalu ramah, dan tak pernah lelah membantu orang lain.
Namun, suatu hari kebahagiaan yang selama ini terasa abadi mulai retak. Itu bermula ketika ia menemukan sebuah buku tua di perpustakaan desa. Buku itu tak terurus, berdebu, dan seolah tak pernah disentuh siapapun selama bertahun-tahun. Sampulnya pudar, dengan tulisan judul yang nyaris tak terbaca, tapi satu kata menarik perhatian Gula: "Pahlawan."
Tanpa berpikir panjang, ia membawa buku itu pulang. Selama ini, Gula selalu mengagumi kisah-kisah pahlawan nasional. Baginya, mereka adalah sosok-sosok yang tak ternoda, pejuang sejati yang memperjuangkan kemerdekaan dengan keberanian dan tekad baja. Namun, buku ini berbeda. Dari halaman pertama, ia sudah merasakan ada sesuatu yang tak biasa.
Buku itu bukan menceritakan pahlawan dari sudut pandang yang ia kenal. Di dalamnya, Gula membaca tentang seorang pahlawan yang selama ini ia kagumi. Sejarah mencatatnya sebagai sosok heroik, pemimpin yang gagah berani, mengorbankan segala yang ia miliki demi kemerdekaan bangsa. Tapi, lembaran-lembaran buku itu mengungkap sisi lain dari dirinya --- sisi yang membuat Gula terkejut dan tak percaya.
Di balik nama besarnya, sang pahlawan ternyata terlibat dalam kisah yang sangat pelik dengan perempuan. Perempuan-perempuan yang seolah menjadi bagian dari perjuangannya, namun bukan sebagai rekan seperjuangan yang setara. Gula membaca dengan hati yang semakin berat. Beberapa perempuan dipaksa tunduk, diperlakukan sebagai alat, dan kisah mereka tersingkir dari sejarah yang selama ini hanya menceritakan kemenangan dan kebesaran sang pahlawan.
Gula berhenti membaca sejenak, menatap keluar jendela. Bagaimana mungkin seorang yang tampak begitu mulia, yang diabadikan dalam buku-buku sejarah, bisa terlibat dalam kisah yang begitu kelam di mata perempuan seperti dirinya? Bukankah mereka seharusnya melindungi, bukan memperalat?
Hari itu, dunia Gula berubah. Ia mulai mempertanyakan segala yang selama ini ia yakini. Apakah benar sejarah hanya menceritakan yang baik-baik saja? Apakah para pahlawan yang diidolakan bangsa ini benar-benar tanpa cela? Gula merasakan campuran perasaan marah, sedih, dan kecewa. Ia ingin tahu lebih dalam, tapi ia juga takut akan kebenaran yang mungkin lebih pahit lagi.
Pada akhirnya, Gula menyadari bahwa sejarah memang bisa begitu kompleks. Ada sisi yang tak pernah diungkap, tak pernah diceritakan dengan lantang. Dan seringkali, perempuan-perempuan yang terlibat dalam perjuangan bangsa ini adalah yang paling terlupakan, terhapus dari narasi besar yang hanya berfokus pada kemenangan dan kebesaran para pria.
Gula menutup buku itu, matanya menerawang jauh. Kini ia mengerti, bahwa tidak semua yang bersinar di buku sejarah adalah emas murni. Ada noda, ada luka, dan ada suara-suara yang tak pernah didengar. Seperti suara perempuan-perempuan yang berjuang di balik layar, dan kisah mereka tak pernah tercatat.
Namun, siapakah sang pahlawan itu? Apakah pembaca tahu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H