Mohon tunggu...
Arline Safitri
Arline Safitri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Read. Food. View.\r\nBaca. Makanan. Pemandangan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dipati Ukur, Pemberontak atau Pahlawan?

9 November 2012   13:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:42 7254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13524659172040980351

Berawal dari rasa penasaran tiap kali melewati jalan Dipati Ukur di Bandung. Kebetulan kampus pusat Universitas Padjadjaran berada di sekitar jalan Dipati Ukur. Saya pun merasa beruntung bisa belajar di jurusan Ilmu Sejarah Unpad maka bisa memenuhi rasa penasaran itu melalui penelusuran sejarah Dipati Ukur. Masyarakat kota Bandung mungkin tidak asing mendengar Dipati Ukur yang merupakan nama sebuah jalan di kawasan pendidikan di kota Bandung. Namun tidak sedikit pula yang mengetahui siapa itu Dipati Ukur sebenarnya dan bagaimana sejarahnya di masa lalu.

Membicarakan Dipati Ukur tidak kalah menarik seperti halnya membicarakan hikayat Perang Bubat. Mengangkat sejarah Dipati Ukur bukan berarti membuka luka lama apalagi mengorek sentimentalisme dangkal kesukuan. Namun sebagai salah satu agar bisa memahami sejarah yang terjadi di masa lalu. Desertasi Edi S Ekadjati (1979), Cerita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda, menyebut lebih dari 20 naskah yang menyinggung Dipati Ukur yang kemudian dibaginya dalam delapan tipologi: versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram, dan Batavia.

Ada beberapa versi yang menceritakan kisah Dipati Ukur seperti yang disebutkan diatas. Ada yang menganggap Dipati Ukur sebagai seorang pemberontak dan sebaliknya ada yang menganggap Dipati Ukur sebagai seorang pahlawan. Itu diserahkan kembali kepada masing-masing melihat sejarahnya dari sudut pandang yang mana.

Dipati Ukur adalah seorang wedana yang telah memimpin sebuah pasukan besar untuk menyerang Belanda di Batavia (1628) atas perintah Mataram, tetapi tidak berhasil, bahkan justru menimbulkan konflik di dalam. Ketika Pangeran Dipati Rangga Gede menerima sanksi politis dari Sultan Agung dan ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Setelah “pemberontakan” Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya.

Dipati Ukur harus berhadapan langsung dengan Mataram sendiri yang telah terprovokasi Tumenggung Bahureksa atau Narapaksa. Justru perang melawan Mataram inilah yang menjadi pusaran konflik yang telah menyita tenaga dan pikirannya. Bahkan, pimpinan manusia Sunda lain, yakni Wirawangsa, Samahita Astramanggala, Uyang, dan Sarana, yang diajak angkat senjata, menikam dari belakang dan melaporkan niat pemberontakan Dipati Ukur kepada sultan Mataram.

Mataram merupakan kerajaan terbesar pada masa itu sehingga terlampau besar untuk dilawan. Gerilya yang dilakukan Dipati Ukur pada akhirnya dapat dilumpuhkan oleh Mataram.Perang gerilya yang diperagakan Dipati Ukur, dari Gunung Pongporang, Gunung Lumbung, hingga Bumbang, tidak berkutik melawan gurita kekuasaan Mataram yang masih kuat. Ada juga bantuan dari bupati-bupati Priangan yang ternyata tidak kalah sangarnya membantu Sultan Agung melalui tangan Tumenggung Bahureksa untuk menangkap Dipati Ukur.

Ada hal yang bisa dipetik dari kisah Dipati Ukur ini adalah keberanian dan sikap kritis Dipati Ukur melawan Belanda di Batavia atau Mataram. Memegang keteguhan prinsip yang dianggapnya benar, terlepas dari versi benar atau salah yang dilabelkan pada diri Dipati Ukur.

Itulah sejarah singkat Dipati Ukur yang pemberani dan mempunyai sikap kritis dalam dirinya. Apalah arti sebuah penafsiran seorang pemberontak atau pahlawan tergantung penafsiran masing-masing yang berbeda. Namanya sudah abadi dalam setiap ingatan manusia dan tertera menjadi nama sebuah jalan di kawasan pendidikan di kota Bandung.

Sumber Ekadjati, S. Edi. 1979. Cerita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda Penelusuran Sejarah Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun 1846 – 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun