Di era modern ini, kita justru menghadapi banyak sekali masalah kemanusiaan. Salah satu contoh nyata, adalah problematika biomedis. Problematika yang sehubungan dengan penyakit, dan regeneratif ini terlalu kompleks, sehingga diperlukan pendekatan baru dalam menyelesaikan masalah.
Selama ini, dikenal epistemologi 'mono sains', yaitu mendekati masalah ilmu pengetahuan semata-mata hanya berdasarkan satu kacamata keilmuan saja. Contohnya, mendekati masalah kimia, hanya berdasarkan an sich ilmu kimia, mendekati masalah fisika an sich berdasarkan ilmu fisika, dan juga misalnya mendekati masalah sosial an sich hanya berdasarkan kacamata sosiologi. Alhasil, pendekatan mono disiplin ini sebenarnya penuh masalah. Seperti seorang tukang, yang memerlukan peralatan lengkap sewaktu membetulkan pipa yang bocor, maka masalah ilmu pengetahuan pun tidak bisa dihadapi secara 'murni' dengan satu alat saja.
Contoh sederhana, jika kita menghadapi masalah infeksi flu burung. Jika kita memiliki tim riset yang hanya an sich berisi dokter saja, tanpa bantuan ilmu dasar, maka jika pendekatan kedokteran sudah mencapai jalan buntu, ini tidak akan ada jalan keluar sama sekali. Demikian juga, jika menghadapi masalah ilmu dasar, tanpa bantuan ilmu terapan. Jika menemui jalan buntu, maka kita tidak akan bisa beranjak kemana-mana. Analogi sederhananya, seperti tukang yang mengerjakan pipa bocor cuma dengan satu alat, obeng saja misalnya. Tentu analogi tukang pipa ini tidak bisa diartikan secara harafiah. Hanya untuk mempermudah penjelasan saja. Â Epistemologi mono disiplin disangga dengan tiang yang sangat rapuh, sebab jika pendekatan tersebut gagal, maka alternatif lain sudah tertutup sama sekali. 'Menengok' perkembangan di ilmu lain, akan dianggap penyimpangan, walaupun bisa jadi bantuan dari ilmu lain justru bisa menyelesaikan masalah. Alhasil, tidak ada apapun yang bisa dicapai, apalagi publikasi atau paten.
Berbeda sekali, jika dalam satu tim riset, terdiri dari berbagai disiplin. Katakanlah, untuk tim riset flu burung, ada dokter, ahli kimia, biologi, fisika, engineering, dan bahkan ilmu sosial. Maka masalah tersebut bisa didekati oleh berbagai pendekatan yang berbeda. Pendekatan-pendekatan itu saling melengkapi, dan memperkuat satu sama lain. Jika pendekatan yang satu buntu, maka pendekatan yang lain bisa digunakan.
Contoh sederhana. Di kelompok riset bioinformatika, Universitas Leipzig, tempat saya bekerja sekarang, ada banyak ilmuwan yang memiliki latar belakang ilmu berbeda. Ada matematika, fisika, ilmu komputer, biologi, dan kimia. Justru dengan kolaborasi yang kuat antara berbagai bidang ilmu ini, kami bisa memperoleh hasil yang bagus untuk publikasi, dan bahkan dalam hal tertentu bisa untuk kerja sama dengan industri. Hal ini tidak hanya terjadi di tempat saya saja, namun kajian multidisiplin sudah menjadi fenomena umum di semua negara maju, mulai dari Amerika Serikat sampai Jepang, dan dari Norwegia sampai Singapura. Justru para reviewer hibah riset di negara maju akan lebih melirik proposal riset multidisiplin, sebab hanya kajian seperti inilah yang menjanjikan jalan keluar lebih jelas terhadap masalah keilmuan, ataupun kemanusiaan. Pendekatan mono disiplin sudah lama ditinggalkan, dan mereka yang masih bertahan di pendekatan model itu akan tertinggal dan kesukaran dalam mengembangkan kelompok riset mereka.
Contoh diatas lebih codong ke riset terapan. Namun, dalam riset dasar sekalipun, pendekatan mono disiplin sudah ditinggalkan. Sudah umum disini, seperti juga terjadi di kelompok riset saya, dimana ahli matematika, bekerja sama dengan kimiawan, fisikawan, dan biolog. Mereka berjalan bareng mengerjakan proyek yang sama, dan pendekatan yang berbeda digunakan untuk saling melengkapi. Barangkali sukar membayangkan, ahli fisika yang sangat filosofis dan matematis dalam menyelesaikan masalah, bisa satu grup dengan biolog yang cenderung deskriptif. Namun itulah yang terjadi di negara maju, dan mereka bisa bekerja sama dengan baik, tanpa harus 'diracuni' oleh 'chauvinisme' keilmuan. Malah yang terjadi, mereka saling belajar satu sama lain, tanpa harus merasa 'jaim'. Salah satu proyek besar biomedis, Human Genome Project, adalah hasil kolaborasi multidisplin juga.
Namun, kondisi di Indonesia juga sudah membaik. Diknas dan Ristek sudah memberikan hibah yang bersifat multidisiplin. Bahkan hibah untuk kerja sama dengan industri pun sudah mereka berikan. Itikad baik Diknas dan Ristek untuk 'breaking the barrier' (Memecah tembok) ini harus kita dukung sepenuhnya. Mereka pun pasti sudah melakukan studi banding ke negara maju untuk hal ini. Sudah ada banyak riset multidisplin berjalan di negeri kita, dan sebagian sudah dipublikasi atau malah sudah dipatenkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H