Mohon tunggu...
Arlian Buana Chrissandi
Arlian Buana Chrissandi Mohon Tunggu... -

sedang meniti jalan kepenulisannya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pesona Karimun Jawa (Bagian I)

20 Februari 2013   01:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:01 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seberapa mengesankankah Karimun Jawa?

27 AGUSTUS 2012, kira-kira pukul tiga pagi. Kami baru saja tiba di Alun-alun Jepara. Sepi. Belum ada kendaraan lalu-lalang. Tak ada orang-orang yang berkumpul menghabiskan waktu bersama sambil minum kopi atau bermain kartu atau sekadar bercengkerama. Kota kecil ini sangat berbeda dengan Jakarta. (menurut lo?!) Misal tak ada tukang becak yang menawarkan jasa angkut ke pelabuhan, niscaya kota ini seperti kota mati di mata kami. Kami bertiga. Saya, Biya dan Ines. Setelah tukang becak pergi, tak ada siapa-siapa lagi. Suasana mencekam. Setahu saya, setiap alun-alun pasti ada masjid. Saya ajak Biya dan Ines mencari masjid. Agar sejenak menguapkan penat, bersih-bersih. Selepas shubuh baru jalan ke pelabuhan. Masjid ada di sebelah selatan alun-alun. Ketika kami datang, pintu depannya terkunci. Masih terlalu pagi. Kendaraan satu-demi satu mulai melewati kawasan ini. Akhirnya kami bisa masuk melalui pintu samping. Merebahkan badan, menunggu kumandang azan. Selesai subuhan, kami memutuskan jalan kaki ke pelabuhan. Tukang becak yang berpapasan dengan kami di jalan terus berusaha agar kami mau menumpang. Waktu turun dari Shantika tadi, para penggenjot becak itu mematok harga Rp. 20.0000. Agak pagi jadi Rp. 10.000. "10 ribu aja, Mas, Mbak. Masih jauh banget pelabuhan. 3 kiloan," kata salah seorang yang cari muatan. "Mau jalan aja, Pak... Olahraga." Perut kami mulai memancing kerusuhan. Tapi Jepara belum juga bergeliat. Warung-warung belum buka.  Kami terus berjalan, menyusuri Jalan Kartini. Tiba di perempatan, kami bertanya pada tukang sapu yang mulai menghidupkan Jepara pagi. Dia menunjukkan arah ke barat. Sampai ketemu pom bensin, kami harus ambil kiri. Tinggal lurus dan pelabuhan akan terlihat. Biya dan Ines sesekali bercanda di jalan. Mulai tampak SPBU di ujung jalan. Tampak pula satu warung nasi mulai beraktifitas. Bagai menemu oase di tengah terik padang pasir. Perut harus diisi untuk melanjutkan perjalanan. Menu seadanya. Warung ini belum sepenuhnya siap dengan segala masakannya. Telur goreng, mie, nasi dan secangkir teh panas. Harga standar. Per orang habis Rp. 6.000. ********* Di pelabuhan terlihat antrean memanjang untuk tiket kapal ferry KMP Muria. Penduduk lokal tua-muda pria-wanita, anak-anak muda perkotaan yang niat menjadi wisatawan, dan turis asing bergabung dalam barisan. Antrean cukup panjang, sampai 40 orangan. Pelabuhan sudah sangat ramai. Hiruk pikuk. Jepara semakin hidup seiring matahari meninggi. Tiba-tiba seorang turis-asing-perempuan-kebingungan melintasi antrean. "Anyone who speaks english here?" katanya setengah berteriak. "Me! What can I do for you?" sontak saya jawab. Turis asing ini berasal dari Spanyol. Bahasa Inggrisnya lumayan berantakan. Saya jadinya cukup pede ngomong sama dia. Dia punya dua tiket KMP Muria, buat dia dan seorang temannya, cewek juga. Orang yang dia mintai pertolongan beli karcis ternyata salah beli. Mereka ingin naik Express Bahari. Dua karcis ferry itu terpaksa harus dijual. Tanpa pikir panjang saya iyakan. Berarti saya tinggal antre untuk satu tiket lagi. Untuk Biya dan Ines sudah aman. "Baru kali ini ada bule-bule jadi calo tiket," kata Biya sambil tertawa, setelah ia kasih si bule uang. Melanjutkan antre, saya coba sok akrab dengan bapak-bapak yang berdiri tepat di hadapan. Namanya Pak Parjo. Ia bersama istri. Suami-istri ini warga Karimun Jawa. Mereka belanja ke Jepara untuk dikulak lagi di Karimun Jawa. Pak Parjo membawa motor. Menyeberangkan motor dikenakan ongkos ekstra. Per orang Rp. 28.500, ongkos motor 60.000. Pak Parjo mengaku tinggal di belakang bandara. "Lhoh, udah ada bandara juga, Pak?" "Lho ada!" "Lhoh, kirain gak ada." "Lho ada. Udah lama lho. Tapi itu lho, pesawatnya buat tamu-tamu resor mewah biasanya." Setiap kalimat mengandung lho. Kapal berangkat pukul 9 pagi. Penuh sesak. Kami menuju geladak atas yang dipenuhi turis-turis domestik, muda-mudi dengan gaya masa kini. Rata-rata bergerombol. Ada yang genjrang-genjreng gitar bernyanyi. Ada yang bermain kartu gaple. Dan pastinya, berfoto-ria. Di sinilah kami berkenalan dengan Paijo dan Andhika. Berawal dari sekadar basa-basi karena duduk berdekatan, dengan cepat kami bisa akrab. Mereka dari Yogyakarta. Saya cukup familiar denganjoke-joke khas Yogya. Biya dan Ines gampang tertawa mendengar logat Jawa kental. Dengan segera Biya mengeluarkan kartu. Hangat. Matahari mulai menghangat. Perlahan memanas. Perlahan memanggang. Beberapa petugas datang kasih pengumuman. Mereka telah sediakan terpal di lantai bawah. Di sana, para penumpang yang terlanjur nekad ini tidak akan kepanasan. Meski sangat mungkin akan bersempit-sempitan. Kami masih memutuskan bertahan. Permainan kartu diteruskan. Satu demi satu mulai menyerah dan berturunan. Paijo dan Andhika pun demikian. Kartu dimasukkan kembali ke dalam tas. Kami mencoba istirahat di bawah panas. Sampai menyerah dan menyusul ke bawah. KMP Muria terdiri dari tiga lantai. Lantai teratas, geladak tempat kami bermain kartu. Beberapa bule terlihat beraksi, berjemur memanggang diri. Lantai dua sediakan banyak kursi penumpang. Inilah lantai manusiawi, meski tetap berdesak-desakan. Toilet cukup bersih. Tapi sangat panjang antreannya. Ada ruang VIP. Tapi harus sekalian beli tiket dari pelabuhan. Beli langsung di kapal tak dijamin dapat jatah. Jajanan di kapal ini masih cukup manusiawi. Tak sekejam ferry Merak-Bahauheni yang para pedagangnya terobsesi naik haji. Di sini, Pop Mie masih 6 ribu. Tak sampai 15 ribu seperti di Selat Sunda. Ada dua warung di lantai dua. Untuk mencapainya, harus melewati manusia-manusia yang bertebaran di lantai. Seperti kamp pengungsian. Lantai paling bawah, tempatnya kendaraan. Truk, mobil pribadi dan sepeda motor berjejeran. Terpal yang tadi dimaksud petugas telah penuh diokupasi. Tak ada lagi ruang kosong. Bahkan tangga pun susah dilewati. Beberapa orang tidur di tangga. Spartan sekali. Beberapa tidur di atas karung-karung beras, singkong atau kentang. Kehidupan warga Karimun Jawa sangat tergantung Jepara. Kebutuhan pokok harus dipasok dari kabupaten. Distributornya orang-orang seperti Pak Parjo. Untung kami segera melihat mobil Paijo. Tak perlu terlalu kebingungan mencari lahan kosong jadinya. Kami menumpang duduk di mobilnya. Sementara ibu, adik dan adik iparnya di ruang VIP. Sampai di Karimun Jawa setelah enam jam. Belum ada tanda-tanda surga di pelabuhan. Yang menarik hanya gapura selamat datang. Dan kesibukan sekitar pelabuhan. Tukang becak menjajakan jasa. Tukang ojek. Sopir mobil carteran. Tak ada kuda, tak ada andong. (Bersambung) ********* Baca bagian kedua -habis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun