Mohon tunggu...
Arlian Buana Chrissandi
Arlian Buana Chrissandi Mohon Tunggu... -

sedang meniti jalan kepenulisannya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pesona Karimun Jawa (Bagian 2-habis)

20 Februari 2013   01:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:01 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seberapa mengesankankah Karimun Jawa?

Pria itu biasa dipanggil Kontet. Nama yang sangat populer bagi yang pernah berwisata di kepulauan ini. Secara serampangan, saya sebut ia Kontet Al Karjawiy. Entah siapa nama aslinya, saya tak sempat bertanya. Rambutnya dicukur pendek. Tinggi 168-an, entah kenapa digelari Kontet. Kulitnya gelap khas anak pesisir. Orangnya ramah dan menyenangkan. Dari jauh-jauh hari, kami telah menghubunginya untuk mengatur penginapan, jadwal melaut dan keperluan lainnya. Sayang saya lupa menghubunginya untuk konfirmasi sebelum berangkat. Kami baru menghubunginya lagi sesampai di pelabuhan. Ketika kami temui, Mas Kontet tengah sibuk mengurusi tamu-tamunya yang juga dari Jakarta. Ia persilakan  kami ikut rombongan itu dalam sebuah colt. Tapi saya tolak. "Biar kita naek becak aja deh, Mas." "Ini masih muat kok." "Nggak apa-apa, Mas. Pengen naik becak. Soalnya di Jepara tadi belum ngerasain becak. Haha." "Oh yaudah, tukang becaknya suruh anter ke rumah Pak Anto." 10 menitan, sampai di lokasi. Rumah Pak Anto itu homestay. Ternyata full booked. Kami lalu disarankan ke rumah mertuanya yang di sebelah barat Puskesmas Karimun Jawa, dipisahkan dua rumah saja.  Istrinya yang antarkan. Tarif satu kamar Rp. 50.000 sehari-semalam. Murah sekali, kan? "Gimana? Di sini aja?" "Gak enak, Ban. Ini rumah banget. Jadi kayak numpang di rumah orang gitu. Bukan kayak di penginapan," keluh Biya. Ini memang rumah. Kamar yang akan kami sewa adalah kamar yang sehari-hari dipakai penghuni rumah. "Aku sih pengennya di sini. Biar banyak ngobrol sama bapak-ibunya. Aku kan pengen tau gimana warga sini, hehe." "Gimana enaknya aja. Kalo mau nyari tempat laen dulu hayok, di sini juga gak apa-apa." Biya akhirnya mengalah. Inilah penginapan kami. Bapak pemilik rumah sangat ramah. Ibunya lebih banyak diam dan melakukan pekerjaaan rumah. Di belakang, terpampang kokoh jemuran dari bambu. Bukan tali, bukan kawat. Ada dua tungku untuk memasak. Ya, tungku dari tumpukan batu bata dan dioperasikan dengan kayu bakar. Bukan kompor dengan minyak tanah. Bukan pula kompor gas dengan elpiji. Aktifitasnya mengingatkan saya pada Nenek. Oh, saya rindu suasana rumah seperti ini. Di ruang tamu, penganan lebaran masih sisa. Jika saja airnya masih harus menimba dari sumur, gambaran rumah dari masa kecil saya lengkap sudah. Di rumah ini hanya ada satu kamar mandi, kami harus bergantian dengan penghuni rumah yang lain. Kamar yang saya tempati kamar anak bungsu. Foto-foto berpigura di atas buffet. Lemari pakaian terbuat dari plastik, bagian atasnya ditempel debu tebal. Ranjangnya terbuat dari kayu. Kasurnya berisi kapuk. Beda dengan kamar Biya dan Ines. Kamar yang letaknya paling depan itu tampaknya memang dikhususkan untuk penginap. Tak ada lemari pakaian. Tempat tidurnya spring bed. Keluarga ini jualan kebutuhan sehari-hari. Warung di bagian kanan depan rumah cukup besar, khas desa. Selesai merapikan barang bawaan, kami ingin menikmati matahari tenggelam. Alun-alun Karimun Jawa sangat ramai di sore hari. Lapangan besar dimanfaatkan para pemuda setempat bermain sepakbola. Semakin sore, warung-warung tenda didirikan. Wisatawan-wisatawati hilir-mudik. Sunset-nya biasa saja. Banyak turis yang baru datang hanya memanfaatkan lokasi pelabuhan kecil untuk mengambil gambar di atas kapal nelayan. Pantainya pun tidak istimewa. Namanya juga pelabuhan. Banyak karang mati di bibir pantai. Petualangan sesungguhnya baru dimulai esok hari. Ketika kapal-kapal nelayan  disewakan untuk berangkat ke tempat-tempat indah kepulauan ini. Beranjak malam alun-alun kian ramai. Di pinggir-pinggir lapangan digelar terpal untuk lesehan warung-warung tenda. Kami sempat duduk-duduk di bangku papan di bawah pohon Kenari depan kantor kecamatan. Lumayan melepas letih perjalanan. Bersenda-gurau, makan bakso dan menikmati kelapa muda. Harganya tak terlampau mahal. Semangkuk bakso Rp. 7.000 dan es kelapa muda Rp. 5.000. Di salah-satu pertigaan menuju alun-alun, berdiri papan besar bergambar peta Karimun Jawa. Dari papan itu saya tahu bahwa kepulauan ini Taman Nasional. Luasnya 107.225 ha. Terdiri dari 100.105 ha perairan dan 7.120 ha daratan. Kecamatan yang memiliki 27 pulau ini dibagi menjadi 3 desa. Mas Kontet mendatangi kami di penginapan selepas Isya. Dia menawarkan ikut kapalnya esok hari. Per orang dikenai biaya Rp. 150.000. Paket lengkap berkelana seharian, termasuk alat snorkeling, kamera air dan makan siang. Tentunya kami akan bersama rombongan lain. Sekapal biasanya 11 orang, katanya. Jika menyewa kapal sendiri, ongkosnya lebih mahal. Satu kapal 400 hingga 600 ribu. Belum termasuk biaya guide dan lain-lain. Tapi sebelumnya kami sudah menerima tawaran Pak Anto yang hanya meminta Rp. 135. 000 per kepala. Jadi di sini, jika Anda tidak ikut paket perjalanan dari travel agent, anda bisa memilih-milih rombongan untuk mendapatkan harga yang paling murah. Untungnya tak masalah bagi Mas Kontet. Karena ternyata, di Kapal Pak Anto nanti,  dia juga guide-nya. Banyak Pria seusianya yang mencari nafkah dari bisnis wisata. Mereka menjual jasa. Saya sempat menyaksikan Mas Kontet wara-wiri dengan sepeda motor mendatangi tamu-tamunya, mengonfirmasi keberangkatan, mengurusi penginapan dan lain-lain. "Abis ini kemana lagi, Mas?" "Masih muter-muter. Ngurus yang mau jalan-jalan besok," ujarnya setelah kami ngobrol. "Istri sehat?" Saya ingat, waktu pertama kali menelepon, istrinya yang angkat. "Lagi hamil. Bentar lagi melahirkan." Sampai ketemu dan bersenang-senang besok, Mas Kontet Al Karjawiy! ******** Inilah petualangan sebenarnya. Pagi-pagi, kami sudah sarapan dan memulai hari yang menakjubkan. Pukul 7-an, kami ke rumah Mas Anto untuk memilih dan mengambil perlengkapan snorkeling. Setelahnya, kami langsung dipersilakan menuju pelabuhan kecil. Di sana, kapal-kapal nelayan yang digunakan untuk perjalanan menjelajahi sisi barat kepulauan telah siap. Menurut Mas Anto, ke barat tidak terlalu beresiko. Untuk ke timur, cuaca sangat penting diperhatikan karena ombaknya besar. Sembari menunggu  rombongan lain, kami menyempatkan diri berfoto-foto dan berbincang dengan awak kapal. Kira-kira pukul delapan, rombongan kami telah lengkap. Benar 11 orang. Yiay, berangkat! Dari atas kapal, kita bisa melihat keindahan luar biasa Karimun Jawa. Hampir setiap pantainya indah. Pasir pantainya terlihat sangat putih, sementara perairan di dekat pantainya sangat tenang dan berwarna hijau. Kami berdecak kagum. Sungguh elok. Dan, kegiatan pertama kami pagi ini adalah snorkeling! Spotnya di dekat Pulau Tengah. Wah, bawah laut Karimun Jawa mungkin bukan yang paling indah di Indonesia, tapi tetap saja surga. Terumbu karang yang beraneka ragam masih terpelihara, air laut yang biru bening dan tentu saja, ikan-ikan cantik aneka warna yang tidak takut kehadiran manusia. Saya sampai betah berlama-lama snorkeling tanpa pelampung. Sampai rombongan bersiap melanjutkan perjalanan, saya masih asyik-masyuk kesana-kemari, seolah tak mau melewatkan setiap inci pemandangan. Sampai Mas Kontet berteriak-teriak memanggil, saya baru tersadar tinggal seorang diri di tengah lautan. Perjalanan diteruskan. Sauh dilemparkan di Pulau Tengah. Kami mendarat. Wow, saya takjub dan girang melompat-lompat mendapati pantai. Ada penangkaran ikan, entah ikan apa. Dari bibir pantai, menuju penangkaran yang di sebelahnya berdiri sebuah rumah panggung, ada jembatan semacam dermaga. Jembatan cukup ramai ketika kami tiba. Para pelancong memanfaatkan dengan baik pemandangan indah ini untuk diabadikan. Pantai ini bagi saya istimewa, karena tidak terlalu ramai dan berisik seperti pantai-pantai terkenal di Bali. Tidak ada bising kendaraan. Suasana pedalaman sangat terasa. Ada satu warung di bawah rumah panggung, barang-barang dijual dengan harga yang tidak kelewat mahal. Aqua botol berukuran sedang Rp. 4.000, gorengan 3 Rp. 2.000. Selain itu, sisi kanan-kiri pantai ini bisa dijelajahi. Setelah puas berfoto di sekitar penangkaran, saya, Biya dan Ines berkeliling pulau. Di atas hamparan pasir putih yang panjang kami bertukar ketertarikan dan gurauan, riang-gembira. Pukul satu siang, kami dipanggil Mas Kontet untuk makan siang. Menunya khas pantai; ikan bakar dengan berbagai bumbu, sambal, kecap atau bumbu kacang, disertai lalapan yang menerbitkan liur. Menggugah selera. Setelah kenyang, kami bergerak menuju Pulau Gosong. Menurut Mas Kontet, pulau ini kelihatan di masa-masa tertentu saja. Hanya terdiri dari gundukan pasir di tengah lautan. Jika laut pasang, raiblah ia. Sebelum tiba di Pulau Gosong, kami kembali snorkeling. Kami sangat antusias karena ingin coba bergaya di bawah laut. Bergantian kami menyelam dan difoto Mas Kontet dengan latar terumbu karang. Bahkan yang tidak bisa berenang pun, dituntun pelan-pelan olehnya agar tetap mendapat gambar di bawah laut. Menyenangkan, ya? Hari beranjak sore ketika kami tiba di Pulau Gosong. Memang luar biasa Tuhan menciptakan alam ini. Keindahan seperti Pulau Gosong sukar ditemukan di tempat lain. Sensasinya luar biasa berdiri di atas pasir putih sementara di sekeliling kita lautan belaka berwarna hijau, kehijauan lalu biru yang luas. Lepas dari Pulau Gosong, kami menemui ujian Tuhan sesungguhnya. Kapal yang kami tumpangi tak henti-hentinya diombang-ambingkan ombak. Oleng kanan-kiri dipermainkan ombak setinggi satu meter lebih. Wajah Ines pucat-pasi dan Biya memejamkan mata membunuh rasa takut. Untung pemegang kemudinya ahli, sudah intim dengan goyangan semacam ini. Puas rasanya setelah bisa mendarat. Ngomong-ngomong Tuhan, masyarakat Karimun Jawa termasuk religius. Azan berkumandang setiap waktu salat. Pak Nur Hasan, pemilik rumah yang kami tempati, menceritakan berbagai legenda kepulauan ini. Kesemua cerita tak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Muria, salah-seorang diantara Wali Songo, pemuka penyebaran Agama Islam di Jawa. Nama-nama tempat, rata-rata merupakan jejak Sang Wali. Menurut Pak Hasan, nama Karimun diambil dari kata kremun, yang artinya timbul-tenggelam atau tampak-hilang hilang-tampak. Diikisahkan Sunan Muria dikejar-kejar musuhnya lalu mendarat di satu pulau. Musuh-musuh tersebut kehilangan jejak karena pulau tersebut sebentar kelihatan sebentar menghilang hingga akhirnya mereka pergi dengan tangan hampa. Makanya diberi nama Karimun. Kisah dari Pak Hasan hanya salah-satu dari sekian versi. Versi lain menyebut Sunan Nyamplungan alias Amir Hasan, putra Sunan Muria dengan cerita yang berbeda pula. Berbagai versi menganggap nama "karimun" berasal dari kata Jawa, "kremun." Tapi saya menduga-duga, jangan-jangan itu sebenarnya merujuk pada kata "Karimun" dalam Bahasa Arab, yang artinya (yang) mulia. Apapun itu, sejarah tempat ini berkaitan erat dengan penyebaran Islam. Bagaimana sebelum Islam masuk? Butuh bongkar perpustakaan untuk mengkajinya. Iseng-iseng saya bertanya pada Pak Hasan, apakah masyarakat sini tidak risih dengan turis-turis yang bertingkah-polah semaunya, yang bule bahkan sering jalan-jalan hanya mengenakan bikini. "Ah, ndak kok, Mas. Wis biasa. Yang lokal juga banyak yang gitu. Kita ndak masalah," cetusnya. Ya, warga sini tak merasa risih sama sekali dengan pakaian minim para wisatawan. Tapi otak saya tampaknya terganggu ketika membayangkan sekelompok turis wanita memakai bikini melewati masjid yang sedang mengumandangkan azan. Aha! Saya jadi kepikiran; mereka yang beranggapan Islam tak bisa toleran pasti belum pernah ke tempat ini. Semoga Karimun Jawa dijauhkan dari tindak-tindak pengrusakan. ******** Pernahkah Anda ke Karimun Jawa? Kalau belum, sebaiknya segera. Tidak, anda tidak akan menyesal seumur hidup seandainya tak pernah. Tapi daya tariknya sungguh sayang dilewatkan. Pergi ke Karimun Jawa adalah hal baik yang tak perlu dipertanyakan. Kesokan harinya, petualangan yang tak kalah serunya kembali kami lakoni. Kali ini kami bersama rombongan Andhika dan keluarga. Dengan kapal yang lebih bagus dibanding kemarin, dengan rombongan yang anggotanya lebih sedikit, hanya 7 orang. Selain kami bertiga, Andhika dan Paijo bersama ibu, kakak dan kakak iparnya yang bule asal Belanda. Sedikit lebih ekslusuif rasanya. Kami menyusuri sisi timur kepulauan ini. Tujuan pertama Pulau Menjangan Kecil, tempat penangkaran Hiu. Kami merasakan sensasi berenang bersama kawanan Hiu. Wah, deg-deg-serrr. Ngeri juga membayangkan Hiu-hiu itu tiba-tiba menjadi galak. Awalnya memang menyenangkan bermain di sini. Tapi lama kelamaan, airnya keruh lantaran kebanyakan orang nyemplung. Jika Anda ke sini, saya sarankan anda meminta guide anda memastikan apakah penangkaran cukup sepi ketika Anda datangi. Perjalanan diteruskan dengan snorkeling, seperti sehari sebelumnya. Saya tetap bersemangat meski tidak seantusias kemarin. Law of diminishing return. Snorkeling ini, lebih banyak kami manfaatkan untuk berfoto bawah laut dan memberi pakan ikan agar kawanan warna-warni itu mengeliling. Hukum bosan itu akhirnya tidak lagi berlaku ketika tiba di Pulau Geleang. Dari kejauhan, pantainya sudah terlihat sangat memikat. Lebih ranum daripada Pulau Tengah kemarin. Karena bagian laut dangkalnya lebih luas dengan dasar pasir putih, dari jauh tampak hijau dari dekat jernih seperti mata air pegunungan. Saya merasa seperti Columbus pertama kali menginjakkan kaki di Haiti ketika melmpat dari kapal. Langsung berlutut dan menggenggam pasir putihnya. Hua! siang yang sempurna. Nikmat sekali berleha-leha di pantai secantik dan sesepi ini. Tak peduli kulit yang legam terpanggang. Pulau ini dihuni oleh Mbah Munayya, 60, dan anaknya, Mudi, 26-an. Mudi  memiliki kelainan mental. Perilaku dan cara bicaranya seperti bocah 10 tahun. Begitu ceria dan sukar berhenti bicara. Biya sempat ketakutan ketika berjumpa Mudi yang menjaga toilet, karena dia terus bicara apa saja tanpa ditanya. Belakangan saya baru membaca kisah Ibu dan anak yang luar biasa ini. Dan ternyata, kepemilikan Geleang telah beralih ke tangan perorangan, bukan lagi milik negara. Sore harinya, kami menikmati senja di Ujung Gelam. Sebuah pantai yang tak kalah bagusnya. Untuk menyaksikan matahari terbenam di Karimun Jawa, spot ini salah-satu yang terbaik. Konon, pantai ini Belitong-nya Karimun Jawa, karena banyak bebatuan besar di pantai. Bagus untuk tempat berpose. Menariknya, di sini banyak warung yang menjual banyak makanan, tidak seperti pantai-pantai lainnya. Saya menghabiskan beberapa butir kelapa muda. Momen yang paling mengesankan bagi saya dan tak akan pernah terlupakan hari itu adalah perjalanan pulang. Di atas kapal, sambil menikmati matahari yang perlahan tenggelam seperti dimakan garis lurus laut, Biya tersenyum dengan tatapan berjuta makna.  Manis sekali. Matahari tenggelam itu juga cantik sekali. Gambaran senyum dan tatapan matanya yang meriah senja itu akan saya simpan hingga akhir hayat. Kami turun dari kapal dengan kegembiraan khas kanak-kanak, dengan perasaan tentara menang perang. Sepanjang jalan pulang kami bercanda dan melakukan hal-hal gila, memancing heran penduduk sekitar. Esok kami akan pulang. Terima kasih, Karimun Jawa! ********* Baca bagian pertama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun