Pada tahun 2023, dunia perfilman Indonesia digegerkan oleh karya sutradara Wregas Bhanuteja berjudul Budi Pekerti. Film ini mengangkat isu sosial dan moral dengan latar belakang budaya Jawa masyarakat Yogyakarta selama masa pandemik COVID-19. Dibintangi oleh Ine Febriyanti sebagai tokoh utama yakni Prani, Dwi Sasono sebagai tokoh Didit, Angga Yunanda sebagai tokoh Muklas, Prilly Latunconsina sebagai tokoh Tita, dan masih banyak lagi. Film ini memusatkan cerita pada tokoh Prani, seorang guru yang harus menghadapi tekanan sosial setelah video insiden adu mulutnya di pasar menjadi viral. Konflik ini tidak hanya mempengaruhi Prani secara pribadi tetapi juga menyeret anggota keluarganya ke dalam pusaran opini publik, hingga akhirnya terkena dampak cyberbullying. Film ini menggambarkan bagaimana opini publik yang sering kali tidak berdasar mempengaruhi kehidupan seseorang. Selain mengangkat isu sosial, film ini juga memperlihatkan kuatnya unsur kebudayaan seperti penggunaan dialog dalam Bahasa Jawa, yang menambah kesen lokalitas dan otentisitas budaya Indonesia.
Fenomena dalam film Budi Pekerti relevan untuk dikaitkan dengan teori semiotika struktural Ferdinand de Saussure. Film ini menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana elemen visual seperti warna menjadi tanda yang sarat makna. Salah satu elemen mencolok dalam film ini adalah penggunaan warna kuning yang konsisten di berbagai adegan. Warna ini muncul dalam bentuk atribut seperti masker hidung, pakaian para tokoh, hingga bendera yang dibawa rombongan pendukung Prani. Dalam konteks film, warna kuning menciptakan asosiasi tertentu di benak audiens, sekaligus memperkuat narasi tentang harapan, kebahagiaan, dan dukungan terhadap tokoh utama.
Berdasarkan teori, Sausssure memandang tanda sebagai kombinasi antara penanda (signifier), yaitu wujud fisik seperti kata, gambar, atau warna dan petanda (signified), yaitu konsep atau makna yang diasosiasikan dengan penanda tadi. Dalam film ini, warna kuning dapat dianalisis sebagai tanda yang memiliki hubungan antara penanda (warna kuning itu sendiri) dan petanda (makna yang diasosiasikan dengan warna kuning tersebut). Warna kuning secara visual diasosiasikan dengan konsep-konsep optimisme, harapan, atau kehangatan, tetapi juga dapat mempresentasikan perasaaan, tergantung pada konteks adegan. Dikutip melalui sebuah website assessment Indonesia, mengenai psikologi warna kuning, Pakar Warna Internasional, Leatrice Eiseman dalam bukunya ‘Color: Messages and meanings’ memaparkan bahwa secara psikologis, warna kuning merupakan warna yang kuat. Warna kuning sering kali diasosiasikan dengan perasaan gembira, ramah, dan terbuka. Sedangkan menurut pakar dunia efek bawah sadar warna, Angela Wright dalam bukunya ‘Beginner’s Guide to Color Psychology’, warna kuning diasosiasikan dengan harga diri, emosi, dan kreativitas.
Warna tersebut tidak memiliki makna intrinsik tetapi memperoleh maknanya melalui relasi dengan elemen lain, seperti konteks adegan, ekspresi karakter, atau situasi emosional yang digambarkan. Warna kuning menjadi elemen visual yang konsisten dan bermakna dalam perjalanan tokoh Prani ke tokoh lainnya di film ini. Ketika ia menghadapi momen yang menggemparkan di pasar, masker hidung berwarna kuning yang dikenakannya menjadi sorotan, terutama setelah kejadian tersebut terekam dan viral di media sosial. Dominasi warna ini terus muncul, saat Prani bersiap untuk promosi jabatan dari guru menjadi kepala sekolah, di mana ia dan beberapa tenaga pendidik lainnya terlihat mengenakan pakaian serta masker berwarna senada. Simbolisme warna ini juga diperkuat ketika Prani dan anak sulungnya, Muklas, sedang berbincang di sebuah gazebo di dekat kolam, diiringi rombongan perahu yang membawa bendera kuning bertuliskan dukungan kepadanya sambil menyanyikan lagu kebanggaan. Hingga pada momen-momen penting menjelang akhir, kehadiran warna kuning melalui atribut yang dikenakan oleh banyak tokoh dalam penceritaan mempertegas posisi dan perjalanan emosional tokoh Prani, menciptakan kesan yang dalam dan menyentuh hati audiens.
Dalam sistem tanda film ini, wana kuning tidak berdiri sendiri, melainkan berfungsi sebagai relasi antar tanda-tanda lainnya, seperti ekspresi karakter dan keadaan suasana, untuk menciptakan makna yang lebih kompleks. Saussure menjelaskan bahwa makna tanda ditentukan oleh kovensi sosial dan relasi dengan elemen lain dalam struktur naratif. Dalam konteks film ini, warna kuning dapat dianggap sebagai elemen visual yang memperkuat tema moralitas. Kehadirannya menjadi simbol visual yang membantu audiens memahami dinamika emosi dalam cerita, seperti kekuatan keluarga yang bertentangan dengan tekanan sosial dan kritik publik yang mereka hadapi. Warna kuning dengan relasinya yang berlawanan dengan elemen visual seperti warna gelap dalam adegan konflik, menciptakan oposisi biner yang memperjelas dinamika naratif, sebagaimana dijelaskan oleh Saussure dalam teori strukturalnya.
Secara keseluruhan, film ini berhasil menyampaikan pesan tentang pentingnya dedikasi, pengorbanan, dan hubungan yang kuat serta bagaimana dukungan dari komunitas dapat memberikan kekuatan dalam menghadapi tantangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H