KOMPASIANA - “Semua orang berhak untuk sukses, semua tergantung pada usaha dan komitmen untuk mewujudkannya. Karena status sosial maupun ekonomi bukanlah halangan untuk meraih kesuksesan”. Kalimat itulah yang pertama kali diucapkan Muhammad Rizki, pria asal Gayo Lues yang baru saja diwisuda pada tanggal 28 Februari 2019 di Auditorium Prof. Ali Hasjmy kampus UIN Ar-Raniry Banda Aceh,saat menceritakan perjuangannya selama di Banda Aceh hingga menjadi seorang sarjana.
Muhammad Rizki, bukanlah datang dari keluarga yang berkecukupan. Hidupnya bisa dibilang penuh dengan perjuangan dan deraian air mata. Anak dari pasangan Almarhum Abdul Rahman dan Nur Ikmah ini, harus melalui usaha yang berliku penuh dengan pengorbanan demi membiayai kebutuhan pendidikannya.
Lahir dan besar dari keluarga petani miskin di Pasar Lama, Blangkejeren kabupaten Gayo Lues, membuat pria kelahiran Kutacane, 03 Maret 1995 ini tidak mempunyai banyak pilihan. Saat berencana untuk melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi, banyak tetangganya yang mencibir, karena dianggap orang tuanya tidak mampu untuk membiayai kuliahnya.
Namun, tekadnya untuk kuliah sudah bulat. Bahkan, setelah menamatkan SMA Negeri 1 Blangkejeren, ia rela berjualan buah untuk modal mewujudkan cita-citanya di Banda Aceh.
Perjuangan di Banda Aceh
Bermodal nekat dan keyakinan, akhirnya pada tahun 2014 Muhammad Rizki lulus dan diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi S1 Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
“Saat itu, saya berangkat dengan tekad dan pulang jadi sarjana, saya ingin membuktikan kepada semua orang, bahwa orang miskin berhak untuk sarjana”, kata Riski mengawali cerita tentang kisah hidupnya, Minggu (3/3) di Zakir Kupi Lamnyong.
Keterbatasan orang tua yang kesulitan mengirim biaya untuk kuliah dan menjalani hidup di Banda Aceh membuat Rizki harus berusaha sendiri untuk membiayai hidup dan kuliahnya. Biaya kuliah yang tidak sedikit dan kebutuhan perut yang harus diisi membuat Rizki memutuskan untuk bekerja sebagai barista kopi dan berjualan dikaki lima.
“Uang hasil kerja, untuk biaya hidup dan kuliah. Tidak mungkin terlalu berharap kepada ama dan ine mereka disana hidup serba berkecukupan”,kata Rizki.
Terkadang, kata Rizki sempat terpikir apakah mungkin mampu mewujudkan impian ama dan ine (red. Ayah dan Ibu) untuk melihat anaknya menjadi sarjana. Namun, demi untuk mengangkat martabat keluarga, ia yakin mampu menjadi sarjana. Menjadi sarjana tentu saja impian semua orang, hanya kendalanya untuk mencapai itu semua harus ada pengorbanan dan biaya besar.
Selain itu, kata Rizki awal kuliah ia merasa sangat minder dan rendah diri, segan rasanya berteman dengan orang-orang high class, pasalnya ia hanya seorang anak miskin dari desa yang mencoba mengubah nasib keluarga dan bersaing dengan pemuda kota yang serba berkecukupan. Namun, ia pantas berbangga, tepat hari Kamis, 28 Februari 2018 kekhawatirannya selama ini akhirnya terbayar lunas. Dia resmi menyandang gelar Sarjana Ilmu Perpustakaan (S.IP) dan lulus dengan IPK 3,60.
Senyuman lepas terukir dengan sangat indah diwajah orang tuaku, sebuah ciuman kasih saying dari sang ibu membekas diwajahku takkala kupersembahkan ijazah kepadanya. Begitu juga, Ayah yang kini telah tiada, dia pasti bangga melihat adanya sarjana.