Dua Partai di Belanda menolak penjualan Tank Leopard kepada Indonesia dengan alasan kasus pelanggaran HAM di wilayah ini belum tuntas. Harga diri bangsa sudah terkoyak dengan embel-embel seperti itu. Penolakan tersebut tak membuat niat pemerintah setempat menjual kendaraan militer bekas tersebut.
Alasan pemerintah Belanda sendiri penjualan Leopard demi meningkatkan keuangan ekonomi militer setempat. Pemerintah Indonesia sendiri menghadapi penolakan dari parlemen. Tujuan pemerintahan SBY membeli tank tersebut demi meningkatkan kualitas pertahanan negara. Bicara pertahanan negara sendiri, saat ini ukuran pertahanan negara bukan lagi semi militer, tetapi "corak ekonomi" memimpin dunia hari ini.
Indonesia bukan negara yang suka perang seperti Amerika maupun Israel, negeri agraris itu bernama INDONESIA. Konstitusi semi militer mewajiban rakyat mengikuti pendidikan militer seperti Cina maupun Israel, sehingga kebutuhan untuk meningkatkan jumlah peralatan militer yang canggih sangat masuk akal. Ingat, musibah besar yang dihadapi seketika menggunakan barang milik negara lain ialah ancaman embargo di kemudian hari.
Ancaman keamanan terhadap negara, Indonesia sendiri selama ini hanya beberapa kasus bentrok soal perbatasan dengan Malaisya dan rakyat  Papua yang masih memegang senjata selama mengutarakan aspirasi merdeka dan gebong teroris yang masih mengancam. Maupun sesekali berhadapan dengan kasus perbatasan dengan Papua Nugini di perbatasan Papua.
Keharusan memiliki peralatan militer semestinya diawali dengan praktik negara memerangi perang. Sengketa perbatasan dengan Malaisya beberapa waktu lalu tindakan penggunaan alat militer tak begitu dipakai. Perang dengan negara lain saja tidak ada, kok mau beli peralatan canggih?
Kasus Papua Penentu?
Salah satu partai konservatif di Belanda ( P V V ) akhir-akhir ini menyuarakan penentuan nasib sendiri bagi Papua, tak salah mereka ( P V V ) menggalang dukungan di parlemen untuk menolak niat penjualan tank Leopard kepada Indonesia, dan tentunya isu pelanggaran HAM Papua menjadi sorotan kelompok penolak di Belanda.
Dari dalam negeri, hal yang sama dilakukan. Presden SBY berkali-kali menyatakan bahwa penanganan Papua tidak dengan militerisme, tetapi TNI maupun POLRI lebih terlibat pada upaya penegakan hukum kesejahteraan. Dua pernyataan diatas punya hubungan satu sama lain, aspirasi penolakan dari parlemen Belanda ditanggapi pemerintah dengan sejumlah retorika soal Papua.
Pro dan kontra menjadikan Papua sebagai penentu, bahkan disaat ini penjualan perlatan militer seakan mengingatkan memori soal peluncuran satelit Rusia di pulau Biak. Amerika bersikukuh melarang Indonesia untuk memberi ijin kepada Rusia karena pulau tersebut sudah dilirik untuk dijadikan pangkalan militer AS.
Apa yang terjadi? Senator AS Eni Falamofaega dari Samoa mengibarkan bendera Papua merdeka, bahkan tak luput dari gertakan. Parlemen AS sering menggelar hearing ( mendengar suara Papua merdeka ) dengan tokoh merdeka di Papua, hearing dilakukan sebagai alat protes bila keinginan AS tidak dituruti Indonesia. Apa yang terjadi dengan parlemen Belanda mirip seperti yang sudah pernah di lakukan Amerika.
Jadi, apa yang diucapkan oleh mantan menlu OPM yang kini beralih mendukung Indonesia di Papua, Nicolas Messet bahwa perjuangan orang Papua sudah di tunggangi ada benarnya. Iya, Papua merdeka menjadi isu politik mutakhir yang dipakai negara-negara barat maupun kelompok militer dalam negeri untuk memuluskan proyek tertentu. Tindakan menggunakan kasus Papua sebagai alat gertak semata, sangat di sayangkan.