Ribuan pendukung Partai Rakyat Demokratik ( PRD ) berdemo didepan markas Mahkamah Konstitusi 10 Desember 2011
Sejak freeport berhenti operasi oktober lalu, kegelisahan pun kian menerpa perusahaan dibawahnya hingga pemegang saham tak ketinggalan geliatnya untuk cemas. Sebut saja beberapa saham di freeport seperti negara Selandia Baru, saham milik pensiunan di Belanda. Dalam negri Indonesia, PT. Gresik yang mengelola 30 persen bahan freeport pun berupaya cari jalan. Kecemasan yang sama datang dari PT. Ancora Indonesia Resources TBK ( OKAS ). Perusahaan penyuplai bahan peledak di freeport kini berpikir untuk menaikan usahanya kepada klien baru karena pengiriman ke freeport sudah terhenti. Dilansir Kontan.co.id, produsen amonium nitrat dan bahan peledak ini mengincar kontrak dari tiga sampai empat klien baru di 2012 nanti. "Nilai kontrak yang kami incar sekitar US$ 50 juta-US$ 100 juta," kata Dharma H. Djojonegoro, Direktur Utama OKAS, dalam paparan publik di Jakarta, Senin (12/12). Penghancuran bebatuan "blasting" memang sumber utama bagi produksi emas dan tembaga sebagai penghasil utama PT. Freeport Indonesia selama beroperasi lebih dari 40 tahun di tanah Papua. Dalam cuplikan video yang penulis dapatkan dari salah seorang pekerja di PT. REDPAD beberapa tahun silam, sangat jelas, bahan peledak yang digunakan untuk mengemburkan bebatuan untuk di saring lagi melalui proses produksi selanjutnya dan dikirim berupa konsentrat. Video blasting bisa lihat di youtube; Freeport Papua Mount Bomb dan Freeport ELECTRONIC BLAST IN DOLERITE. Menurut OKAS, pengiriman bahan peledak ke freeport sudah terhenti. Sudah tiga bulan terakhir dihantam aksi mogok dari para buruhnya sehingga perusahaan tambang ini harus menghentikan produksi untuk sementara. Otomatis, order amonium nitrat ke OKAS pun terhenti. Kondisi ini jelas berdampak negatif pada kinerja keuangan OKAS. Di sembilan bulan pertama 2011, perseroan ini hanya bisa mencetak penjualan Rp 852,98 miliar. Jumlah ini lebih kecil 19,89% dari penjualan di periode yang sama tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp 1,06 triliun. Maklumlah, OKAS hanya mengandalkan order dari dua klien, yakni Indominco Mandiri dan Pama Persada Nusantara. Selama ini, OKAS masih bergantung pada klien-klien besar, seperti Freeport Indonesia dan Chevron Pacific Indonesia. Masalahnya, tahun ini kedua perusahaan tersebut terbelit masalah pelik. Kepala Riset Indosurya Asset Management, Reza Priyambada mengatakan, untuk menjaga agar pertumbuhan kinerjanya tetap stabil di masa mendatang, PT Ancora Indonesia Resources Tbk (OKAS) gencar mencari kontrak baru. Dengan demikian, kinerja OKAS tidak tergantung pada klien-klien tertentu Lucunya, penghentian operasi freeport tidak mengganggu pengeluaran uang dari freeport kepada berbagai pihak. Sebut saja 1000 personil di bayar 1,25 juta per-bulan, lalu di Jayapura, ada perlombaan foto yang digelar freeport. Untuk bayar pajak ke negara secara otomatis terhenti pula. Kondisi seperti sekarang sudah memungkinkan bagi pemerintah untuk segera mengajak freeport untuk negosiasi ulang kontrak karya yang selama ini dianggap merugikan negara. Kementerian ESDM harus percepat re-negosiasi tanpa harus mengulur waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H