Lengkap sudah istilah boneka di Indonesia. Dari segi politik dan ekonomi sudah terkenal dengan pelabelan " boneka ". Artinya Seseorang, kelompok maupun institusi resmi yang menjalankan kepentingan invidu tertentu kepada mayoritas rakyat, cenderung di cap sebagai boneka atau kata lain antek. Antek, boneka, predator merupakan sebutan yang klasik diberikan kepada sosok yang menjalankan agenda-agenda pihak tertentu. Dalam hukum pasar neoliberal, individu pemilik modal sebagai penentu kebijakan politik maupun ekonomi di berbagai wilayah maupun negara.
Kali ini, pelabelan pun kian tak hilang dari kisruh kompetisi, lebih khusus pada persipura dicoret dari liga champion. Nahkoda PSSI Johar Arifin disebut boneka pajangan oleh anggota DPR Papua yang juga mantan pemain persipura. Jack Komboy menilai, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin tak ubahnya boneka yang hanya sebagai pajangan karena ada aktor tertentu yang menggerakkannya dari belakang layar.
Bisa diduga aktor dibelakang layar yang dimaksudkan oleh politikus Papua ini. Sejarah hadirnya Liga Primer Indonesia ( LPI ) membuat sosok Arifin Panigoro yang juga bos Medco melayang di udara. AP menjadi terkenal bukan karena prestasi perusahaannya yang dia kelola, melainkan tenar karena menyokong suatu liga baru. Kisruh kompetisi tak terhindarkan. Kelompok kompetisi yang sudah lama menyelenggarakan liga tak semudah melepaskannya kepada gerbong liga baru. Sejak itulah, kongres di tubuh sepak bola paling banyak digelar di negri ini.
Ulah daripada boneka di tubuh PSSI hingga saat ini, tak tertutup kemungkinan bila Komisi E DPRP yang membidangi Pemuda dan olahraga, sangat mendukung dilakukannya KLB demi menyelamatkan sepak bola tanah air.Ketua Umum PSSI hanya boneka dan pajangan saja. Ada aktor yang menggerakannya dari belakang layar. Aktor inilah yang mengacaukan sepak bola Indonesia seperti sekarang ini. Saya tidak perlu menyebutkan namanya, namun saya yakin semua juga sudah tahu siapa dia," tutur Jack Komboy via Okezone.com.
Jaman Nurdin Halid kita tahu berakhir di Solo dengan Kongres Luar Biasa ( KLB ). PSSI jaman itu juga tak kalah dituduh sebagai boneka juga. Inilah penyebabnya kalau penyelenggaran negara bahkan nahkoda sepak bola dijadikan boneka peliharaan yang dipajang kapan saja sepenurut pemilik boneka. Â Lebih sadis lagi, hadirnya mentalitas " boneka " menghancurkan budaya ketatanegaraan Indonesia yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Setelah musyawarah dan mufakat, suatu program akan berjalan sukses karena semangat gotong royong dikedepankan.
Nah, disintegrasi bangsa tidak saja sering dijumpai pada soal kekerasan dan pelanggaran ham saja. Tapi kekawatiran pun muncul disaat kisruh kompetisi yang berakhir denga sanksi dari federasi pusat. Mungkin peminat sepak bola bertanya-tanya ada apa dibalik PSSI menunda pemberian sanksi kepada klub asal Papua yang membelot ke ISL?. Setelah ditelusuri, alasan penundaan sanksi oleh komisi disiplin terungkap.
Diantaranya terungkap oleh Harbiansyah. Kepada tribunnews.com, dia mempertanyakan sanksi yang dilayangkan Komdis PSSI kepada klub-klub di Papua. Tiga klub di Kaltim yakni Persisam, Persiba, dan Mitra Kukar dikenakan sanksi dan denda. Padahal, lanjut dia, sejak awal tiga tokoh yakni dirinya, Syahril, dan John Banua paling keras melawan kebijakan PSSI. "Tapi kenapa Papua tidak dihukum atau dikenakan sanksi? Kenapa mesti takut? Berarti Komdis ini pengecut dan penakut. Mereka takut dipanggil SBY," Setersunya, menurut Harbiansyah jika pengurus PSSI mengenakan sanksi terhadap klub-klub di Papua, kata dia, maka tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi isu disintegrasi.
Hah!. Sejauh itu pembenarannya? sehingga membenarkan diskriminasi sanksi kepada klub yang berlaga di ISL kah. Atau jangan-jangan semacam alat pembenaran bagi PSSI pusat untuk menggertak kesatuan klub di tubuh ISL?. Saya pikir, gerbong IPL yang sekarang berlabuh di kepengurusan PSSI adalah invidu yang menentang campur tangan politik kedalam laga sepak bola. Pemikiran mereka bermuara seketika hendak menurunkan Nurdin Halid.
Itulah sang " Boneka ". Tidak tegas karena memang dia hanya pajangan. Tak mengedepankan musyawarah dan mufakat karena boneka cenderung menjadi predator kepentingan tertentu. Budaya pecah belah bikin si boneka selalu menjadi tumbal dibalik aktor utama. Dan sesungguhnya, ketidakadilan terjadi karena suburnya para boneka di negeri ini. Disintegrasi bukan alasan pembenaran. Indonesia tanpa antek-antek bisa!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H