Papua: Pembebasan Yang Tertunda
Oleh: Arkilaus Baho
Diskusi dan bedah Buku KRONIK IRIAN BARAT “ Abad-abad Pertama MasehiSampai 1965 “ Gedhong Kafe Sorowajan Yogyakarta, 19 Maret 2011
Proses-proses penting yang terjadi di Papua dapat ditulis untuk memudahkan suatu analisis mendasar dimana sampai sekarang sejarah politik kemudian menjadi sebuah doktrin yang kokoh. Dan rasionalisasi sejarah politik tersebut hanya terbatas pada hegemoni suprastruktur kemauan politis semata yang terjadi dan mencuat di publik sampai sekarang. Gaung Papua kemudian dikenalkan melalui beragam tulisan tentang sejarah Papua, baik yang bersumber dari orang Papua asli maupun para penulis buku.
Koesalah Subagyo Toer sebagai pelaku hidup dalam perjalanan perebutan Papua turut menyumbangkan sebuah kronik Irian Barat yang hari ini dibuka dan tentunya akan menjadi sumbangsih yang berarti demi Papua. Tulisan adik kandung dari tokoh Bangsa”Pramudya Ananta Toer”, membatasi penulisannya dalam skala Papua di abad pertama hingga tahun 1965. Data dan fakta dalam dekade abad pertama semakin memperjelas rentetan peristiwa sejarah bangsa. KRONIK IRIAN BARAT sungguh menambah data pustaka sejarah orang Papua. Pembahas menyambut ending dari buku setebal dua ratus lebih halaman ini sebagai satu pertanyaan besar yang harus dijawab oleh kita semua. Bahwa keadilan bagi rakyat Papua belum terjawab.
Pembahas sendiri bukanlah seorang ahli sejarah, bukan juga peneliti masalah Papua, tetapi yang tertulis disini adalah rintihan hati sebagai anak negeri yang lahir diatas bumi Papua dan cukup itens dalam mengangkat problema Papua dari peristiwa bersejarah di Tanah Papua. Tentunya terbatas pada muatan ingatan mayoritas anak-anak Papua.
Dalam kacamata persaingan koloni, Papua berbeda dalam bentuk penguasaan dan pendudukan bagipola pengambilalihan Papua. Mulanya diawali dengan ekspedisi para pemburu rempah-rempah. Perdagangan rempah-rempah belum memiliki niat menguasai Papua sebagai satu wilayah koloni baru. Dalam pikiran para pelaut; kerang dan benda-benda bernilai yang miliki harga mahal, pada jamannya. Bahkan orang Papua yang berhasil digarap dipekerjakan untuk membantu membawa rempah-rempah saja. Datanglah pola dan niat baru atas wilayah Papua, pasca meluasnya perang dingin. Setelah ditemukannya Papua, misi yang pertama adalah perjalanan agama-agama samawi yang menjalankan ajaran ibrahimik. Ajaran Ibrahimik yang dikenal sebagai Yahudi, Kristen dan Islam.
Dari Masa Penjajakan Hingga Masa Pendudukan
Pandangan terhadap Papua secara politis kemudian berubah ketika dari lautan nampak pegunungan Bijih di Pegunungan Tengah Papua yang sekarang dikuasai Freeport. “Cartens” pelaut asal inggris menemukan pegunungan salju yang dilihatnya dari laut. Ia kemudian melaporkan hasil temuannya kepada para misi koloni. Papua didatangi dari berbagai kalangan. Laporan-laporan tentang kondisi mineral wilayah ini kemudian memulai sebuah babak baru niat menguasai Papua. Belanda yang sudah lama bernaung dan mencengkeram tanah jawa, kemudian melirik Papua sebagai ladang baru untuk memperluas kekuasaanya. Mulanya Papua hanya dianggap Belanda sebagai tempat aman bagi pendirian pos pemerintahan untuk maksud tertentu saja. Namun, setelah datangnya Jepang dan Portugis, konfrontasi untuk menjadikan Papua sebagai Tanah Surga bagi eksploitasi menjadi panas.
Pulau Papua resmi direbut dan klimaksnya adalah Liga bangsa-bangsa ( sekarang PBB ) abad 20 berhasil membagi satu pulau menjadi dua negara berbeda. Perbedaan ini dapat dipandang pada pola cengkraman politik dan kedaulatan ekonomi masing-masing. Papua Nugini milik Inggris dan Papua Barat milik Belanda. Untuk memelihara kepentingan ekonomi dan politik di wilayah yang berhasil dibagi ini, Australia diberi kewenangan untuk kendali atas PNG, sedangkan Papua Barat diberi kepada Indonesia untuk berkuasa. Berbeda dengan perebutan Papua Timur, Papua Barat diduduki oleh gelombang pendudukan yang paling rumit.Bahwa upaya perebutan Papua Barat tidak terlepas dari gejolak perang dunia I-II antara blok kapatalis ( Barat ) dan sosialis ( Timur ) bersitegang.
Ketegangan atas masalah Papua sendiri diakhiri dengan deklarasi Papua secara defakto pada 1 Desember 1961 oleh sejumlah tokoh Papua. Deklarasi tersebut dialukan atas suatu keyakinan kokoh pejuang Papua dan bukan atas anjuran koloni Belanda. Tercatat dalam poin deklarasi yang isinya simbol Negara Papua ( bendera bintang kejora ), lagu ( hai tanahku Papua ) dan cakupan wilayah ( Sorong sampai Merauke/Samarai ). Untuk mengawal politik defakto, 1 Juli 1965 terbentuk Organisasi Papua Merdeka ( OPM ) di Manokwari. Kegigihan rakyat Papua dalam dua pembentukan diatas, menandai satu luka baru yang sampai sekarang belum bisa diamputasi persoalanya. Entah sampai sekarang belum bisa di terima oleh dunia, tetapi kontekstual peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam membeku pada kepentingan tarik ulur bahkan pemicu kontradiksi sosial diantara penduduk Papua dengan afiliasi politik global saat ini. Makna politik dari deklarasi 1 Desember 1961 bagi orang Papua merupakan suatu langkah sadar yang dilakukan demi menyelamatkan Papua dari garapan dan perampasan Papua.
Ambisi sukarno merebut Tanah Papua tidak berdiri sendiri dengan perjuangan sukarno yang ber-aliran sosialisme . Pembebasan Irian Barat ( Trikora ) 1 Mei 1963 yang di suarakan langsung oleh presiden pertama “RI “ Sukarno di alun-alun utara Yogyakarta, entah untuk merebut Papua sebagai wujud persaingan perebutan wilayah antara blok kapitalis dan sosialis dimasa perang perang dingin, tetapi fakta saat ini bahwa Papua secara konstitusional telah berada dalam naungan NKRI sehingga 1 mei 1963 diperingati sebagai hari integrasi Papua, (Lihat Juga; 1 MEI SUKARNO REBUT PAPUA FREEPORT MENJARAH)
Freeport Akar Separatisme Negara
Ribut punya rebut, klimaks dari usaha-usaha penyelesaian masalah Papua terjadi ketika operasi pertambangan Freeport terancam akibat status politik wilayah ini tidak jelas. Rangkaian kamuflase sistematik dilancarkan. Laporan-laporan penemuan tambang bijih yang dilihat secara kasat mata inilah, membuat peran Amerika mulai nampak dan menonjol dalam mengendalikan perseteruan politik antara Indonesia dengan Belanda.Untuk mempercepat proses perdamaian antara Indonesia dengan Belanda atas wilayah Papua, diselenggarakan tahapan perundingan hingga konferensi. Atas desakan untuk mempercepat pengoperasian Freeport, Amerika Serikat menjarah kewenangan badan dunia seperti PBB disaat itu untuk menyelenggarakan satu referendum yang sampai sekarang dianggap cacat hukum.
Aspek sejarah politik dalam resensi integrasi adalah dominasi kebijakan militeristik pelanggar ham dan menguatnya institusi Negara di giring menjadi penjaga pemodal Negara yang dampak pada penembakan warga Negara sendiri dalam hubungan protes kehadiran perusahaan. Dan integrasi Papua secara formal turut mengintegarasikan aliansi pemodal yang berujung pada kenyataan hari ini Papua begitu buruk dengan penanganan HAM dan Crime Ekologi. Inilah sejarah politik dari dinamika 1 mei 1963 sampai sekarang misteri dalam mengukur akar masalah Papua.
Data statistik propinsi Papua termasuk Papua barat pada tahun 1990 jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat tercatat sebanyak 385.509 jiwa, sedangkan pada tahun 2000 tercatat 571.107 jiwa, dan tahun 2005 telah mencapai 651.958 jiwa. Tercatat laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,29 persen per tahun. Dari total jumlah penduduk Provinsi Papua Barat pada tahun 2006 tersebut, terdapat 65,7 persen penduduk asli papua yang terdiri dari 14 etnis. Sisanya 34,3 persen merupakan penduduk non-papua yang berasal dari suku bangsa lain. Sedangkan periode penentuan pendapat rakyat Papua tahun 1969, total penduduk Papua 800 ribu jiwa.
Komitmen untuk mendukung kemajuan orang Papua tidak ada dalam kamus perebutan wilayah ini dan sampai sekarang semakin nyata kapitalisasi dalam era globalisasi. Sumber utama rantai penguasaan Papua dipandang penting hanyalah sebatas sumber daya alam. Pokok eksploitasi yang menjadi tujuan utama ekspansi kepentingan ekonomi dan politik sampai pada saat ini, telah menjadikan Indonesia sebagai ikon Negara demokrasi yang mau berupaya membangun corak baru di bumi Papua Barat.
Dengan dukungan Kennedy, Indonesia memiliki kesempatan untuk kemandirian ekonomi riil. Penduduk Papua dijanjikan suara nyata untuk pemerintahan sendiri. Tapi ketika Kennedy terbunuh, kediktatoran militer yang telah dipasang dan dilunasi sehingga kepentingan bisnis seperti Freeport telah diberi prioritas lebih tinggi daripada tuntutan sumber daya pribumi yang masih terjarah. JFK, Indonesia,CIA & Freeport Sulphur. oleh: Lisa Pease. Prolog Apa yang lalu. Ditulis di Arsip Nasional, Washington, DC.
Sayangnya, kehadiran Indonesia atas Papua hanya bercokol dalam moncong kepentingan membangun Papua atas dasar ide dan program negara-negara yang menyerahkan Papua kepada NKRI. Kehancuran baru bagi orang Papua dideteksi dengan adanya gelembung transmigrasi, masuknya penyakit modern sampai pada kekuatan tangan besi( industrialisasi ) yang berkuasa atas penghancuran Papua dari sebelumnya berpola nomaden.
Bebaskan Papua Dari Bedil Imperialisme Nyata
Dinasti koloni yang dibangun atas Papua kemudian kita kenal sebagai peradaban politik dari berbagai kapitulasi persoalan yang berlarut-larut dan mengorbankan orang Papua. Plebelisit Papua tahun 1969 hanya taktik demokrasi yang tidak memenuhi ruh demokrasi orang Papua dalam menyampaikan pendapat. Pola yang sama dikaji dalam penyelenggaraan Otsus di era abad 21 tahun 2001 hingga sekarang. PEPERA ( penentuan pendapat rakyat ) hanya mengikutsertakan orang-orang Papua yang dibuat senang oleh koloni saja. Begitu juga dengan Otsus yang memanjakan kelompok elite. Rakyat Papua sengaja dipelihara dalam dua kelompok warga. Warga senang-senang dan warga menderita dengan tujuan nasonalisme perubahan di Papua diperkecil, kecintaan akan nasionalisme orang Papua menjadi tidak begitu penting sehingga menuju pada kehancuran peradaban.
Penulis Arsip Papua asal Belanda, P.J.Drooglever dalam bukunya yang berjudul Tindakan Pilihan Bebas “ Orang Papua Dan Penentuan Nasib Sendiri” diterjemahkan oleh Penerbit dan Percetakan Kanius Yogyakarta, terungkap secara jelas bagaimana keinginan koloni negara-negara barat mencoba merebut Pulau Papua. Garis batas kemudian ditarik atas kesepakatan sepihak pihak luar; Inggris dan Belanda. Jadilah Papua Nugini diwujudkan dalam satu Negara Baru dibawah rantai Inggris Raya, sedangkan Papua Barat dijadikan kuda hitam saja tanpa penempatan satu status positif seperti PNG.
Konsep Otonomi Khusus menjadi pedang pembangunan yang diharapkan berlaku sebagai solusi masalah Papua selama 25 tahun sejak diberlakukan dalam bentuk undang-undang. Tambal sulam Otsus pun gagal menyambut suatu perubahan sejati untuk rakyat Papua. Kehadiran Otsus hanya menyuplai sejumlah dominasi pasar saja. Kepentingan rakyat Papua terpukul mundur di-era otsus. Bahkan desain otsus memberi ruang yang begitu besar bagi laju eksploitasi Tanah Papua. Gejolak rakyat Papua terus meningkat dari tahun ke tahun.
Proses pemerdekaan Papua ditengah pengkaplingan ekonomi sekarang, harus dipandang sebagai bagian terpenting dalam usaha pencokolan Tanah ini kearah penjarahan babak baru. Entitas politik kemerdekaan rakyat Papua sudah dijarah dalam babak perebutan Papua, sampai pada tahapan sekarang harus dikurangi dominasi kaum kapitalisme yang telah gagal menunjukan kedaulatan rakyat di dunia. Farian kapitalisme tidak memberi kemerdekaan penuh dalam sejarah pendirian Negara, yang ada hanyalah penghisapan. Papua harus diletakan dalam kultur luar dari arus pasar bebas yang serakah dan tak berperikemanusiaan. Ketergantungan pada pasar adalah tradisi luar yang tidak cocok bagi Papua. Maka itu, arah penyelesaian Papua, tuntas bila Papua dipandang terpisah dari cengkraman siapapun dan dominasi politik manapun. Merdeka!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H