Keladi bakar pengolahannya simpel, diambil dari kebun lalu di bakar dalam bara api di kebun. Prosesnya cepat, tapi benar-benar keladi itu matang lalu dimakan. Tetapi kalau hamburger, dari segi kata saja sudah rada asing dikit. Prosesnya pun rumit. Hamburger merupakan makanan cepat sajai ( instan ) yang dikelola dengan berbagai macam zat kimia, lalu untuk mendapatkannya harus dibeli, dan tentunya hamburger hanya ada di restoran besar dan mewah. Keladi bakar dan hamburger, sama-sama bikin kenyang, cuman, klo hamburger, si konsumen bisa gemuk dan kolesterol bila terus-menerus mengonsumsinya.
Kebijakan mengindonesiakan Papua lewat hambruger di kirim ke Papua bukanlah jawaban sejati. Hamburger de pu nama undang-undang. Lalu, undang itu dijaga oleh manusia bersenjata, kalau kamu tidak makan hamburger ini, kamu dapat tembak. Kalau masih mau makan keladi bakar, maaf kami tidak punya keladi bakar dari jakarta. Iyo, cuman hambruger bukan seleranya kami, pak presiden. Lah trus maunya apa? kami hanya ingin bapak jangan kirim hamburger, karena di sini sudah ada keladi, ubi, sayur dan makanan alami yang lebih sehat dan mengandung vitamin.
Jakarta memaksakan apa yang disebut " kapital market ", segala kebijakan di Papua harus bernilai ekonomis. Empat puluh tahun yang lalu, pemerintahan orde baru bermimpi bahwa masuknya freeport bisa memperbaiki nasib rakyat Papua. Toh, nyatanya gagal. Sekarang, era reformasi, rezim reformasi kirim UU otonomi Khusus, toh nyatanya gagal juga. Pemaksaan terus dilakukan, sampai nyawa melayang. Orang Papua kocar-kacir lari ke luar negeri hanya karena tra suka hamburger dari Jakarta lalu di intimidasi dengan senjata.
Lalau bagaimana jadinya? apakah keladi bakar di kelola jadi hamburger lalu di kirim boleh kah?. Tetap saja kami tidak suka. Sudahlah, pemerintah ijinkan kami yang kelola makanan kami sendiri, tanah yang kami pakai bikin kebun jangan kasi ke perusahaan, nanti kami tidak bisa berkebun lagi. Atau, jangan kasi supermarket berdiri megah disini nanti hasil kebun kami yang kami panen tidak bisa dibeli. Wah, no..no...now, itu bukan penentu pertumbuhan pasar ekonomi yang kami " jakarta " maksudkan.
Aspirasi orang Papua di godok ( diolah ) sedemikan rupa, sama seperti proses suatu hamburger dibuat. Rasanya sih enak, tapi sayang...itu bukanlah makanan pokok penduduk asli Papua. Sudah begitu, pemerintah selalu mutar-mutar pula. Dalam hal dialog saja, bukannya langsung mengumumkan perundingan, eh, malah tarik kesana tarik kemari. Tiba-tiba mereka ( jakarta ) ribut pasukan AS di Australia yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Papua, tiba-tiba ada pengalihan isu bahwa ada tentara AS yang jaga freeport. Bukannya menjawab tuntutan para buruh, malah ribut soal tentara asing. Parahnya, sebuah kosmestik yang juga ada atribut Papua merdeka didalamnya bikin sibuk pemerintah. Padahal, kantor freeport di jakarta saja, diskusi Papua merdeka dengan diskusi NKRI harga mati, sudah biasa kok.
Kembalikan saja Papua seperti apa Papua itu sendiri, entitas Papua merupakan cita-cita utama. Harga diri, harkat dan martabat, budaya dan seni, demokrasi orang Papua, politik orang Papua, semuanya merupakan " CORAK " rakyat Papua sudah ada di Papua sini, kenapa harus digusur?. Kalau trus gusur filsafat hidup ( keladi ), lalu digantikan dengan filsafat kebaratan atau corak neoliberalisme ( hamburger ), surga sampai langit kami tidak bisa terima. Gelora konflik kian tak terselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H