Mari berangkat ke kantor tiap pukul 8 pagi. Mencapai halte bus transjakarta dengan berjalan kaki. Di sana kita menanti bus yang menuju halte transit. Sampai di halte singgah, kita ganti bus ke arah selatan hingga tiba di halte depan kantor.Â
Â
Bukan Main Bhutan Â
Sepanjang perjalanan, dari balik kaca, duduk di pojok bangku deretan belakang, kita mengamati lalu lalang berbagai kendaraan. Suasana lalu lintas ibukota yang riuh-rendah. Suara klakson yang menjerit saling bersahutan. Seolah saling berlomba ingin segera sampai di tujuan. Deru campur debu. Untung saya terlindungi dalam akuarium keliling berpendingin udara. Ah, terlindungi. Iyakah? Â
Bosan mengamati kondisi luar, saya mengalihkan pandangan ke ponsel, menelusuri padatnya lini masa media sosial. Sesekali memeriksa pesan baru di WhatsApp yang tak kalah ramai. Ada yang perlu segera direspon dan dibalas, atau dibiarkan dulu sambil menimbang pilihan jawaban yang tepat. Lalu saya beralih ke Youtube, mencari konten yang menarik di Ted Talks, dan mengaktifkan penyuara jemala. Â Â
Saya mengetuk salahsatu video bertajuk "This country isn't just carbon neutral --- it's carbon negative" oleh Bhutan's Prime Minister Tshering Tobgay. Dengan bangga, sang Perdana Menteri mengabarkan prestasi negarannya, yang tak hanya berhasil mencapai netral emisi karbon tapi juga negatif emisi karbon.
Luas Bhutan sekitar 38.395 kilometer persegi dengan populasi sekitar 800.000 jiwa. Lebih dari 70 persen wilayah Bhutan yang masih dipenuhi hutan itu, mampu menyerap karbon dengan sigap. Bhutan menghasilkan sekitar 2 juta ton karbon dioksida, tapi hutannya menyerap lebih dari tiga kali lipat jumlah tersebut. Jadi, hutan di Bhutan mampu menyerap enam juta ton karbon dioksida tiap tahun. Negara yang disebut-sebut sebagai negeri paling bahagia di dunia itu menargetkan pada 2030 akan mencapai nol emisi gas rumah kaca, dan menghasilkan nol limbah. Â Â
Di akhir pemaparan, Pak Perdana Menteri mengajak seluruh hadirin untuk bersama mengatasi ancaman perubahan iklim. Pertumbuhan ekonomi memang penting, tapi menjaga keberlangsungan bumi justru lebih krusial. Luar biasa. Ketika ada tokoh dunia yang menawarkan solusi pindah ke Mars, Bapak ini malah mengajak kita mendandani mother earth alias ibu pertiwi.
Peta Jalan Menuju Nol Emisi Â