Mohon tunggu...
Arkilaus Baho
Arkilaus Baho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Duluan ada manusia daripada agama. Dalam kajian teori alam, bahwa alam semesta ini usianya 14.000 juta tahun, baru setelah 10.000 juta tahun kemudian terdapat kehidupan di bumi ini. Manusia jenis Homo Sapiens baru ada 2 juta tahun yang lalu, sedangkan keberadaan agama malah lebih muda dari kemunculan agama yaitu 5 ribu tahun lalu. B.J Habibi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Timika: Tambang Dikuasai Asing Perang Suku Kian Meningkat

4 Oktober 2012   01:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hadiah istimewa yang diberikan pertambangan asing di Papua adalah darah dan air mata. Menguasai, mengeruk dan mendapatkan untung yang banyak dari darah dan air mata pemilik emas di Bumi Timika Papua. Setelah berhasil memberikan kampak dan supermi sebagai konsensi perijinan lahan secara tradisi di masa eksplorasinya, setelah meraup untung pun perusahaan asal Amerika yang berdiri kokoh di Papua berkat jaminan hukum nasional Indonesia terus menyisahkan tetesan tetesan ketidakperikemanusiaan.
Penduduk sipil asli Papua yang berdomisili di Kwamki Narama (kwamki lama) Timika kian berkurang jumlah jiwanya akibat perang budaya (perang suku) yang kini menjadi metamorfosis penyelenggaraan konflik sistemik ber-label budaya. Emas dan hasil bumi di kuasai pertambangan asing perang suku kian meningkat.
Kapitalisme freeport membunuh habis peradaban pribumi di negeri ini dengan berbagai cara. Perang budaya jaman dahulu dan sekarang sudah beda jauh. Tapi mengapa, di arena perusahaan internasional, corak pembunuhan masih dipertontonkan dengan mengatasnamakan budaya.

Sejarah freeport bagi orang Papua adalah, aneksasi, pencuri, rakus dan tamak. Prilaku kapitalisme memang mendidik sumber daya untuk menguntungkan secara ekonomi saja, tetapi paradoks sosialis mendidik orang untuk saling membantu, mengasihi satu sama lain dan punya nurani. Paradigma kapital dan sosial di Papua dan Timika khususnya adalah satu bentrokan panas yang kian kronis.

Anda bisa bayangkan, dahulu pemerintahan yang memasukan freeport ke Papua ini mereka bangga karena ekonomi nasional ada peningkatan. Tetapi tipu muslihat itu terbantahkan sekarang. Kanibalisme freeport tak bisa diatasi dengan kebijakan undang-undang saja, tetapi pengaturan freeport demi kemakmuran rakyat butuh perjuangan bersama.

Jaman Kelly Kwalik dahulu kental menentang freeport, tapi begitu dia pergi, segelintir rakyat di jadikan objek kerusuhan. Sistematisasi konflik budaya menjadi garam yang sudah tak asing lagi, apalagi demi keamanan dan kepentingan mengamankan maksud maksud tertentu dari para kapital di wilayah ini. Negri ini buta, pejuang tangguh yang berani berantas kapitalisme malah di tembak mati. Peragaan pembantaian 30 september tahun 1965/1966 nyata dilakukan kembali di wilayah kedudukan perusahaan asing.

Desain konflik yang terus meningkat di Papua saat ini menyangkut kepentingan ekonomi negara negara asing semata. Pemerintah di buat frustasi dengan mengatasi konflik yang timbul tanpa wujud yang jelas. Konflik sosial sudah bagaikan makanan sehari hari tanpa penyelesaian yang konkrit.

Jakarta kirim produk hukum ke Papua untuk siapa? kok penanganan keamanan justru mandul di hadapan pemegang uang. Apalagi soal penerapan hukum untuk kesejahteraan rakyat. Mimpi kali ye.

Pengaturan Papua dengan instrumen hukum banyak kendala. Kendala pertama adalah payung hukum yang ada tidak menggigit perusahaan asing. Sejak awal UU Otsus yang sekarang sudah diganti dengan peraturan pemerintah pengganti undang undang (PERPPU) N0.1 Tahun 2008 dan UU N0.35/2008 bahkan tetek bengek PP 65 dan 66, hanya melayang dan mengudara diatas kertas tanpa praktik yang konkrit dan tegas.

Anehnya, pengaturan pembagian hasil menurut UU Papua 80 persen ke Papua dan 20 persen ke pusat. Toh, implementasi uu tersebut tak melihat apakah freeport mau ikut aturan itu atau tidak. Atau memang para penguasa negri ini yang bikin kebijakan hukum mereka terlalu menghayal banyak sehingga pasal di uu hanya diatas kertas saja.

Miris toh. Ya karena kebijakan apapun di Papua demi menjaga keutuhan negara (NKRI) bukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Maka itu Papua saat ini metode menjaganya dengan penerbitan peraturan banyak banyak yang tidak jelas bahkan tumpang tindih. Pemekaran wilayah, peningkatan investasi, konflik yang kian muncul, semuanya dilakukan demi menjaga keutuhan negara dan keamanan perusahaan asing.

Mampukah menjaga Papua dengan bedil senjata dan produk hukum tumpang tindih?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun