Dahulu kami orang Papua berteriak di jalan kepada negara ini usut tuntas tragedi penculikan dan pembunuhan tokoh Papua kala itu, Ondofolo Dortheys Hiyo Eluai. Teriakan kami demi penegakan HAM di Tanah Papua, malah kami dikejar-kejar, diteror, diserang dari tentara maupun polisi hingga oleh ormas sipil afialiasi militer bernama FAKIH. Sekarang, Isu Theys begitu ramai diperbincangkan para politikus. Mereka seakan menjadikan kasus ini sebagai benteng pertahanan demi menggertak lawan-lawan politik.
Theys Eluai memang ditemukan tewas di Skyland Jayapura-Papua 11 November 2001. Kasus ini, pada era Megawati kala itu, nyaris harapan mengusut tuntas masalah tersebut tak mudah. Namun, tekad bulat dari kami anak-anak muda Papua, terus berteriak agar dunia hingga NKRI dengar pesan kami. Alhasil, dua prajurit kopassus mendekam di penjara akibat perbuatan mereka.
Masalah Theys belum tuntas kawan! Sopir pribadinya, Aristoteles Masoka maaih misterius, alias, belum ditemukan dimana jasadnya, tulang belulangnya, atau dimana dia sekarang berada jika masih hidup. Demi merah putih, dibawah dasar-dasar UUD 1945, keadilan dari peristiwa memilukan itu, bagaikan mimpi yang susah digapai dibawah sang saka.
Perintah Presiden?
Komando Pasukan Khusus adalah pasukan elit di Indonesia. Tentu, tindakan mereka dalam hal membasmi seorang tokoh, mendapat ijin langsung dari presiden berkuasa. Toh, justru prajurit bawahan yang menjalankan perintah dihukum, sedangkan pemberi perintah aman-aman saja.
Dasar keterlibatan Megawati pada kasus Theys, mari buka UUD 1945 pasal 10. Presiden adalah panglima tertinggi dan berkuasa penuh atas tentara (AD, AU, AL dan kepolisian). Landasan konstitusional diatas sebagai rujukan bagi aturan kemiliteran dibawahnya. Dari UU-Anjuran Babinsa.
Putusnya pertanggungkawaban pemerintah Indonesia, hanya prajurit kelas teri yang dijebloskan ke penjara, ini menandakan bahwa keadilan di Indonesia belum nyata. Bahwa prilaku orba yang bengis dan kejam, culik dan bunuh sembarangan sudah merasuki sendi-sendi kebijakan penguasa.
Era Suharto, publik Indonesia sampai sekarang masih tuntut belasan warga negara yang diculil dan hilang tanpa jejak. Jaman Megawati, lebih kejam lagi. Seorang Theys dibunuh, sedangkan sopirnya belum ditemukan dimana rimba raya.
Leola Drakel berkata: sakit di hatiku bukan karena cemburu, tapi sakit di hati karena janji, sia-sia sudah diriku menanti disini..., 2001-2014, tiga belas tahun sudah Tanah Papua menangis, sembari meniti keadilan sebagai harapan masa kini. Kami tak butuh sambal goreng (olesan politisi negri ini soal kasus kemanusiaan), kami hanya ingin hidup bebas tanpa siksaan, tanpa teror, tanpa eksploitasi atas dan nama apapun juga.
Baca juga artikel saya sebelumnya dengan judul:
(Inilah Janji Partai Pembunuh Theys Eluay) dan
(18 Tahun Sandera Mapenduma)
#Melawan Lupa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H