Otsus telah tiada, nafasnya sudah mati suri, tetapi banyak pihak suka saja dengan pengawetan mumi ini. Sampah pun berserakan. Kebijakan sampah, paket politik sampah, logika sampah, semuanya dianggap hal baru bagi Papua. Sampah yang menggiurkan ini, kini ada saja pihak-pihak yang merasa rakus sehingga cenderung mengusung proyek sampah tersebut sebagai pembangunan Papua. Tong sampah berupa insfrastruktur, SDM, SDA, kursi otsus di DPRP, dan seterusnya.
Sampah pendidikan yang menggiurkan adalah, ketika lembaga negara punya program pengiriman anak-anak Papua studi diluar Papua, sementara kampus di Papua sengaja dilumpuhkan. Lihat saja, Universitas Cendereawasih Papua kerap dilumpuhkan oleh berbagai cara. Ada kepentingan pejuang mahasiswa, ada kepentingan birokrat kampus, ada kepentingan politik lokal dan nasional. Uncen lumpuh disaat UP4B gencar kirim mahasiswa ke daerah Jawa dengan biaya negara yang lumayan tinggi. Artinya apa? ikon pendidikan di Papua sengaja dilumpuhkan sebagai alasan masuk akal dengan proyek pengiriman studi keluar Papua.
Sampah terbaru adalah rencana pembentukan 14 kursi otsus di DPRP. Fungsi dan kewenangan dari paket ini dibatasi. Wakil rakyat dari jalur otsus tidak punya hak memilih dan dipilih dalam internal birokrasi dewan. Mereka hanya duduk manis, bicara kasi masukan, lalu makan gaji buta. Bore-bore semacam ini, mernggiurkan, apa lagi, kue ini kini diperebutkan mereka yang rakus kekuasaan dan jabatan. Rakus karena sudah tau tak ada kewenangan dan fungsi yang menggigit, mereka hanya lirik uang saja.
Tak lepas dari politik pemekaran kantor-kantor negara di Indonesia. Lembaga negara yang tak memiliki kewenangan total (memeriksa, mengadili) justru banyak didirikan pemerintah. Dari nasional kita kenal ada Komisi Yudisial, KOMNASHAM, KPAI, Komnas Perempuan, dewan etik, dewan penasihat, DPD RI, PPATK. Mereka ini diberi kewenangan hanya untuk merekomendasi saja, bukan seperti KPK, Polisi, Kejaksaan yang diberi kewenangan penuh. Sementara orang-orang di lembaga tukang pemberi rekomendasi tadi digaji negara. Nah, proyek mumi otsus yang menggiurkan, kemudian diterapkan juga dengan adanya kursi otsus di DPR daerah Papua.
Kursi otsus, program pendidikan, kebijakan terkait sumber daya alam, infrastruktur, pada arena mumi otsus ini, terbukan bagi siapa saja. Golongan apa saja, bebas memanfaatkan lahan yang menggiurkan tadi. Sementara plakat otsus dahulunya untuk memajukan Papua sama seperti daerah lain.
Bagaimana sama derajat kalau PNS di Papua saja terima gaji 6 bulan sekali setelah dana triwulan otsus cair. PNS Papua sudah seperti pegawai kontrak (out sourching). Itulah malapetaka bagi mereka yang ingin mengawetkan mumi. Bahwa upaya pengawetan mumi otsus, eh malah menimbulkan sampah yang kemudian coba di daur ulang agar tidak kotor dan bau. Segalanya dilakukan atas dan nama negara, slogan otsus dan martabat orang Papua.
Soal SDA, simak kontrak pembelian harga gas di LNG BP Bintuni Papua Barat, rezim Megawati kala itu meneken harga rendah (harga gas sudah 100.000 dollar per barel, Indonesia masih dibawah 100.000 dollar), belum ada perubahan kontrak sampai detik ini. Orang pada marah-marah ke negara Cina yang dijawab oleh pemerintah Cina bahwa presiden Indonesia sendiri kala itu yang meneken harga gas saat ini, jadi tanyakan kepada pemerintah anda kenapa tidak mau perbarui kontrak?
Kampus UNCEN bukannya dimekarkan ke seluruh Papua agar menampung mereka yang ingin studi, malah lumpuh karena sudah ada kebijakan pusat yang dibekingi UP4B tentang pengiriman studi keluar Papua. Dinas pekerjaan Umum di daerah ditiadakan dalam urusan pembangunan ruas jalan karena TNI sudah rubah tupoksi ke pekerja jalan. DPD RI tak punya fungsi dan kewenangan karena sudah ada DPR RI, paket ini dikirim ke Papua dengan program 14 kursi otsus di DPRP yang nasibnya sama dengan DPD RI. Mumi otsus boleh saja diawetkan dengan berbagai cara, ujung-ujungnya barang itu sudah tak bernyawa dan menjadi pajangan. Hanya karena uang parfum mumi otsus menggiurkan, berbagai kalangan terus betah mengawetkannya. Apakah capres cawapres saat ini, pada nantinya terus melakukan karantina mumi otsus atau langsung kubur dan kabur?
Supaya mumi otsus tadi tidak menghasilkan sampah dan berbau busuk, bahwa UU nasional tak semuanya harus ditegakkan di seluruh daerah Indonesia. Papua tentu dikesampingkan. Contoh, UU pemilu berlaku nasional tetapi dikesampingkan di Papua dengan cara noken. Atau paket otsus membatasi ruang bagi masyarakat seluruh Indonesia karena itu di khususkan bagi orang Papua dengan tujuan dalam kerangka negara kesatuan RI.
Fenomena aturan hukum mana yang dikesampingkan dan mana yang keharusan ini, kadang berdampak pada tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah. Masih banyak pejabat negara kurang memahami esensi otsus sehingga menjadi mumi, di awetkan malah menimbulkan sampah yang juga bau tetapi terus di harumkan dengan parfum (uang otsus) yang kian tahun meningkat alokasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H