Seseorang melayangkan somasi (protes politik) kepada orang lain agar orang tersebut meminta maaf atas ucapan, tindakannya. Bila tidak dibalas oleh pihak yang di somasi tadi, meja hijau menanti. Eh, anda jangan asal bicara, harus ada fakta-fakta dari ucapan itu. Kecuali penyampaian anda bersifat dugaan akan suatu masalah/kasus. Trus, efektifkan somasi menyelesaikan masalah?
Latar belakang seseorang melakukan pembelaan diri dari ucapan orang lain kepada dirinya, kemudian penyelesaiannya ditempuh melalui jalan damai dengan meminta pihak tertuju meminta maaf, justru menimbulkan multi tafsir. Pertama, kenapa langkah ini dilakukan, dan ada apa gerangan kebakaran jenggot kah? Suara-suara miring di era kebebasan bicara atau menyatakan maksud, kok dilawan dengan dalil fitnah dan sebagainya.
Kedua, capaian apa yang didapat dengan jalan somasi/protes balik ini, apakah sebatas tameng agar tiap orang tidak seenaknya mengemukakan pikiran kepada diri seseorang. Apalagi, seorang petinggi negara, otomatis ribuan mata dan pikiran bahkan mulut tentu mengucapkan apa saja tentang dirinya. Konsumsi publik tak seharusnya ditanggapi berlebihan, karena itu akan membuat orang awam semakin curiga, ada apa gerangan, serangan balik dengan cara somasi?
Ketiga, cara penguasa mematikan kritik sosial, hal paling ampuh dengan melayangkan protes halus. Selain cara kasar dengan memakai militer keroyok seseorang yang dianggap mengkritik tajam kebijakan pemerintahan. Hal wajar juga, ketika freeport itu sebuah tambang terbuka, segala mata tertuju dan menimbulkan kritik macam-macam. Ada dari segi ekologinya, ham, ekonomi, politik dan seterusnya. Kenapa freeport saja jarang sekali ada somasi. Herannya, kepala negara kita yang aktif, melakukan somasi atas nama pribadi. Bagaimana memisahkan jabatan aktif dengan pribadi?
Bila si arkilaus ini yang di kata-katain orang di DPR, politisi, pengamat ekonomi, tentu saya tanya balik, woe, kalian kritik saya emangnya saya ini siapa? pengangguran saja kok dkritik, fitnah dst. Tetapi, seorang pengambil kebijakan negara, apapun wajib dkritisi. Entah imbas dari kawalan sosial berupa ungkapan tentang kasus hukum, sosial maupun ekonomi, biarin saja.
Pada konteks alam, pohon yang rindang dan tinggi tentu kerap berhadapan dengan angin kencang, hujan, matahari, erosi/abrasi. Bahkan perusakan akibat pertambangan dan industri ekstratif.
Kan ada penegak hukum dan penyidik yang punya wewenang, kenapa harus kepala negara seolah-olah bertindak atas pribadi melayangkan somasi. Praktik menyurat orang pun harus masuk akal. Apa kapasitasnya sehingga menimbulkan kritik yang dianggap itu bagian dari fitnah?
Oh, rupanya itu benteng terakhir yang halus. Sebelum benteng fisik dilancarkan. Entah karena kuda-kuda penguasa dari senayan sudah rontoh abis dijajal komisi pemberantasan korupsi sehingga lemah dalam mengawal big monster mereka. Bendungan politik dari partai sudah rapuh, sehingga jalan somasi dengan menunjuk tukang acara hukum bergerak, kirim surat sana-sini kepada siapa saja yang dianggap memenuhi kriteria sehingga mengharuskan pucuk surat melayang.
Jangan sampai negara ini beralih dari kebebasan demokrasi dan bicara bertemu dengan cara di korea utara dimana pemimpin setempat mengeksekusi pamannya hanya karena tuduhan penghianat tanpa pembuktian hukum. Mau kemana negara model ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI