Awal penerapan Otonomi Khusus di Papua, sebagian kalangan menilai inilah kebijakan pereda sakit orang Papua. Sejak tahun 2002 hingga saat ini obat yang dikasi Jakarta ini malah bikin penyakit politik di Tanah ini semakin kronis. Karena sifatnya sekedar menahan sakit, obat doping bernama otsus itu jalan mundur dan tarada hasil apa-apa. Untuk menahan sakit rakyat Papua, doping di kasi untuk bertahan selama 25 tahun. Di tambah lagi obat doping tipe specialis percepatan bernama Unit Percepatan Pembangunan yang usianya malah lebih pendek, tiga tahun ( 2011-2014 ).
Karena sakit kian kronis walaupun ada obat pereda otsu maupun UP4B, tarada penyembuhannya. Bahkan Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat TB Hasanuddin melihat, sejumlah aksi kekerasan yang belakangan ini terjadi di Papua dilakukan secara terorganisasi dan sistematis. Tidak menutup kemungkinan aksi-aksi itu bertujuan menciptakan instabilitas di Papua dalam rangka mendorong daerah itu keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eh, mau kasi obat untuk cegah Papua keluar dari NKRI bukan kasi doping, karena obat penenang itu hanya bertahan sakit sesaat saja. Obat penyembuh sakit bukan dimaknai dengan pemberian uang, pemberian jabatan kepada anak anak Papua atau beri perhatian sebelah mata atau kasi hamburger ganti keladi bakar. Itu bukan solusi. Karena salah kasih obat, tanpa harus menuggu penyakit politik Papua kian kronis, presiden segera tarik dan bekukan unit percepatan yang didalamnya berkumpul kekuatan jenderal di Papua.
UP4B sendiri adalah wakil pemerintah pusat di Papua, bukan wakil dari pemerintahan otonom Papua maupun Papua Barat. Maka itu, jelas, dalam UU Otsus tidak diserahi tugas mengurus kamtibmas, urusan keamanan Papua ada dan dibawah komando pemerintah pusat. Nah, pemerintah pusat di Papua bernama UP4B. Mengingat gejolak yang kian meningkat, resep percepatan tidak menjawab masalah. Jadi sebaiknya bubarkan saja atau cabut kembali. Apabila terus di biarkan, kasihan dana negara habis begitu saja dipakai unit ini tanpa efektivitas yang berarti.
Politik doping pereda sakit di Papua selama ini dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan keamanan menjadi urusan pemerintah pusat dan pendekatan kesejahteraan menjadi urusan pemerintahan otsus. Toh dua pendekatan dimaksud bukan mendekati kesembuhn tapi malah memicu sakit politik kian kronis. Saya belum lihat polisi tangkap oknum tentara yang balas dendam karena teman mereka di tembak polisi di Waena. Antara kalian saja tidak beres, apalagi mau urus rakyat Papua yang sedang sakit?
Sudah kronis sampai berbagai kalangan khawatir jangan sampai rasa sakit orang Papua memicu penduduk di ufuk timur ini meninggalkan Indonesia. Berbagai cara di usulkan. Misal saja, lanjut komisi I DPR RI bahwa untuk mengatasi hal ini, Hasanuddin, yang adalah mayor jenderal purnawirawan, penanganan kekerasan di Papua harus dilakukan secara simultan melalui dua jalur, yaitu operasi intelijen terpadu dan operasi khusus diplomasi. "Operasi intelijen terpadu harus dilakukan secara terpusat karena daerah sudah tidak lagi efektif, dengan melibatkan semua komponen terkait."
"Sementara itu, Kementerian Luar Negeri harus lebih aktif mengorganisasi dan memotong berbagai upaya menginternasionalisasikan masalah Papua," harap Hasanuddin, politisi dari PDI Perjuangan. Akhirnya, kata Hasanuddin, kunci keberhasilan penanganan Papua terletak pada kehendak politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kehendak politik Presiden menjadi penting dan amat dibutuhkan dalam penanganan Papua karena kekerasan di daerah itu dalam 18 bulan terakhir telah tersebar di hampir semua wilayah Papua.
Kehendak presiden seperti yang disampaikan orang-orang dari senayan tersebut sudah di terjunkan. Bahkan sampai sekarang sudah ada tiga peraturan presiden soal Papua ( Sorong sampai Merauke ). Perpres N0. 65 Tentang Percepatan Pembangunan, di susul lagi Perpres N0. 66 Tentang UP4B lalu ditambah Surat Keputusan ( SK ) pengangkatan Purnawirawan Jenderal sebagi kepala unit percepatan. Dan terakhir proyek investasi bernama koridor atau semacam Master plan ( MP3Ei ). Trus apa masalahnya sampai kebijakan tersebut tetap membuat sakit di Papua kian meradang?
Masalahnya adalah seluruh kado dari Jakarta berupa produk hukum tersebut di berikan demi menyelamatkan investasi asing yang mengeluh dengan birokrasi, mengeluh dengan keamanan, mengeluh dengan proses perijinan. Jadi, pemerintah kasi kado untuk pertumbuhan kapitalis di Papua, bukan untuk pertumbuhan orang Papua. Wajar saja Papua punya luka kian sakit bahkan meradang hingga sekarang.
Bila UP4B tidak segera ditarik, ada kemungkinan yang patut di duga dari paket ini.
1. UP4B hanyalah sebuah wadah legal yang di keluarkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengumpulkan dana sebesar mungkin dengan mengatasnamakan percepatan pembangunan di Papua guna pemupukan modal jelang pemilu presiden 2014 mendatang. Ingat, rezim inilah yang mengakibatkan skandal Bank Century sampai skandal Hambalang kian misteri.
2. Barisan jenderal di Papua yang selama ini berbinis keamanan, berlindung dibalik UP4B demi menutupi jejak mereka dalam mengamankan aset asing yang menggiurkan.
3. UP4B adalah hadiah presiden kepada para jenderal yang selama ini mengklaim bahwa urusan Papua ada di genggaman mereka sehingga presiden tidak bisa buat apa apa selain mengikuti maunya mereka.