Upaya mediasi yang dilakukan pemerintah provinsi Jambi dengan mempertemukan pihak perusahaan dengan Suku Anak Dalam (SAD) Jambi, tidak berjalan. Alasannya, simpel, kubu perusahaan dan tim terpadu tidak hadir. Warga SAD yang kompak dengan pemda provinsi sejak awal menantikan kehadiran mereka, dibuat kecewa. Mediasi yang merupakan upaya ketiga pada selasa 7 Januari 2014, hanya dihadiri oleh pemrov dan masyarakat Bathin. Akibatnya, proses ini ditunda hingga waktu yang tidak jelas.
Kompas cetak halaman 24 (8 Januari 2014) melansir kekecewaan para pihak. Agus Pranata dari Partai Rakyat Demokratik (kompas menyebutnya pendamping), mencurigai mandeknya mediasi karena ada dugaan gratifikasi pengamanan. AP (Agus Pranata), mengatakan kehadiran aparat kepolisian di lahan Hak Guna Usaha (HGU) selama penggusuran masyarakat pada awal Desember 2013, dia menduga ada gratifikasi berupa jasa keamanan kepada aparat dibalik keterlibatan mereka pada penggusuran (pengusiran-pen). Sementara Sekertaris tim terpadu penanganan konflik kabupaten Bantanghari, Fahrizal, mengaku timnya tidak menghindar. Dia bilang, saat ini masih ada verifikasi warga Bathin IX dalam area HGU PT. AMS/AP. Untuk itu dia membenarkan tak satu pun anggota tim terpadu datang pada rapat mediasi yang digelar pemrov Jambi. Ketua Adat setempat, Abunyani mengaku kecewa. Saya kecewa, aparat tertinggi di provinsi Jambi dilecehkan aparatur dibawahnya. Dia pun menyampaikan, sangat malu melihat saudara sesama sukunya bergeletakan di jalanan dan pemda Jambi menertawakan, ujarnya. Pada kesempatan yang sama, Fery dari aktivis pendukung rakyat mendesak pemrov Jambi ambil alih penyelesaian masalah ini. Menurutnya, tim terpadu sudah gagal menyelesaikan tugas. Baca juga (Suku Anak Dalam Terancam Dari Tanah Leluhur Mereka).
Upaya negara mementingkan rakyatnya harus berhadapan dengan pemilik modal. Konflik lahan di Kabupaten Batanghari Jambi adalah fakta dari berbagai masalah seperti ini kerap muncul diseluruh Indonesia. Berbagai pihak, dari para pejuang termasuk korban dan elemen pemerintah mengupayakan satu solusi. Peran organisasi kerakyatan yang selama ini ikut mengorganisir persoalan tanah, merupakan apreasiasi yang perlu didukung. Namun, kadangkala, autput dari pahlawan pembebasan rakyat kerap dikebiri.
Hadirnya media yang meliput, kadang menjelaskan perosalan setengah saja. Tidak menggali dari akar. Sejarah bagaimana dan siapa dibalik proses pembebasan tersebut. Misal, seseorang yang berlatar belakang organisasi, malah disebut sebagai pendamping, tanpa menyebut dia dari organisasi mana. Bahwa pertanggungjawaban dari publik menjadi jelas ketika seseorang berjuang bukan atasnama pribadi tetapi organisasi. Hal penyebutan organisasi harus jelas, karena ini menyangkut ideologi organisasi yang memicu kehadiran seseorang dalam memperjuangkan suatu masalah. Tak hanya penyebutan payung seseorang, output suatu masalah, kerap hadir orang-orang baru yang selama masalah tersebut tidak mangkir disini, tiba-tiba mendekati penyelesaian, mereka muncul sebagai pahlawan. Fenomena tersebut kerap dijumpai pada tiap persoalan.
Perlu diketahui, gebrakan warga SAD menuntut hak ulayat mereka dari penguasaan perusahaan dilakukan dengan berbagai cara. Dibawah komando Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jambi, selain demonstrasi rutin, pernah mendirikan tenda didepan kantor kementerian Kehutanan di Jakarta, aksi Jalan Kaki dari Jambi ke Jakarta, dan sekarang, Suku Anak Dalam melakukan aksi di berbagai wilayah. Ratusan menginap di halaman kantor KOMNASHAM Jakarta dan kantor Gubernur Jambi. Upaya mereka sampai mendapatkan hak leluhur yang dimandatkan turun temurun maupun UUD 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H