Sehari usai pemilihan legislatif sekaligus penentuan kuota bagi nasib sebuah parpol di Indonesia, saya menelepon beberapa kawan yang maju caleg. Rata-rata mereka berada di tempat hitungan suara. Hasilnya ada yang sudah lolos, ada yang masih kawal penghitungan suara. Diakhir perbincangan, saya ucapkan selamat. Lah kok bung bilang selamat sukses itu maksudnya apa? Ya selamat saja karena kawan-kawan sudah berani maju ambil alih kekuasaan, walaupun menang atau kalah, namanya juga perjuangan.
Usai mengontak, saya lalu menyimak update berita dari situs nasional. Paling banyak dishare ada caleg stres dan depresi. Ada caleg minta kembali uangnya ke warga karena di TPS yang dia pantau, suaranya hanya 3. Kasak kusuk lainnya tak ketinggalan beredar. Pengagum partai maupun sosok capres, tak henti mengeluarkan ide. Mereka smua ingin rebut dunia maya dari arena Pemilu. Padahal, nyatanya, yang memilih atau dukung itu rakyat di pinggiran kota, rumah mewah dan perkampungan, bukan di dunia maya, itu sekedar fikiran saja.
Sore harinya tak di duga, di sebuah stasiun kereta, ada kerumunan orang yang sedang menyaksikan adu mulut antar dua orang. Pertengkaran mulut mereka bisa didengar oleh siapa saja yang berada disana. Isi pertengkaran, rupanya ada caleg marah-marah pedang kaki lima disitu, namun dibalas oleh tetua yang ada disana dari para pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima bilang, mana uang janjimu, kalau bukan kesepakatan, untuk apa kami pilih anda. Si Caleg membalasnya, ya saya ga lolos, ngapain saya bayar. Ributan ini menarik perhatian para satpam dan polisi yang berada disini. Namun, semuanya malah nonton. Polisi bukannya langsung menangkap basah tindak pidana suap ini, tapi menonton saja, heran.
Malam harinya, sekitar jam 1 malam, ada pemuda berbadan tegap, berdiri di gang perumahan, memanfaatkan keheningan malam, di pembicaraan via telepon, ada nada yang sempat dia ucap dan ketangkap dari telinga penulis. isinya: pokonya kita hancurin sebelum waktunya. Penelepon ini menyebut nama PKS, PDIP, Golkar, Gerindra. Malam yang sunyi ini menjadi bisu dari sebuah rancangan via telepon itu. Kalau ada kucing yang sering berada di jalanan, mungkin suatu rencana jahat itu hanya diketahui oleh kucing itu, dan saya pun tidak mengikuti perbincangan mereka karena bagi saya, apapun partainya, siapapun capresnya, persipura juaraku.
Kasak Kusuk pemilu memang hal biasa, tetapi kenapa peraturan pemilu yang bertaburan ini, susah sekali ada efek hukuman positif kepada para pelanggar. Lemahnya implementasi hukum, berujung pada ketidakpastian hukum pemilu itu sendiri. Kebanyakan pelenggara pemilu memilih jalan politis dalam menyelesaikan suatu masalah, ketimbang menyeretnya ke pengadilan. Anda bayangkan saja, dimana-mana serangan fajar sudah menjadi tradisi dalam pemilu, ini baru pileg, belum lagi pilpres. Pemilu yang tadinya merupakan partisipatif rakyat, berubah menjadi; apatisme atau malastau. Sebuah arena yang jauh dari tujuan rakyat menyerahkan hak kepada penguasa untuk menyelenggarakan konstitusi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H