Dukungan Inggris raya pada suhu politik Papua Merdeka mengejutkan. Seharusnya, sesuai konsensi politik abad 20, kerajaan inggris dan persemakmurannya di serahi mengurus Papua Timur (PNG), sedangkan Papua Barat milik Eropa (kerajaan Belanda). Lihat garis batas pulau Papua, itulah nasib kami setelah direbut oleh dua kekuatan koloni dunia, garis batas di tarik. Papua terpisah secara birokrasi negara.
Sampai hari ini pun, dominasi investasi asing masih dibawah bendera Amerika di Papua. Walaupun ada BP Gas di Bintuni, itu hanya sempalan saja. Konon, Papua bagian barat menjadi hak mutlak konsensi Amerika berkat kekuatan AS yang mendorong sehingga Belanda takluk dan menyerahkan Papua kepada Indonesia. Dalam bahasa Sukarno ganyang koloni Belanda, merupakan sebutan mengusir penjajahan asing di Papua.
Kamus ekonomi imperialis kian misteri akibat politik inggris akhir akhir ini menegasikan perjuangan organisasi Papua Merdeka. Publik kemudian heboh hanya karena kantor OPM di resmikan oleh walikota oxford. Padahal, di runut dari sejarah konsensi pulau ini, perbuatan inggris tentu menyalahi aturan dimasa lalu.
Keseriusan negara negara persemakmuran dalam komando ratu Elizabeth yang kembali menohok keberadaan Papua, bagi penulis, garis batas Papua yang membatasi Papua dengan Papua Nugini kian berakhir. Resolusi PBB (dahulu bernama liga bangsa bangsa ) abad 20 menyatakan Papua timur masuk dalam kungkungan Inggris Raya dan Papua Barat jadi wilayah eropa. Toh abad 21 punya cerita berbeda.
Misteri pula karena disaat negara Inggris mengeksploitasi gas alam Papua dengan keuntungan berlipat ganda, orang Papua di beri hadiah kantor perwakilan untuk perjuangan merdeka. Antara ragu dan cemas dengan dinamika “imperialis tua” Inggris, penulis khawatir, gejala ekonomi politik dunia akan berubah 80 derajad hanya karena faktor “Papua”.
Sudut pandang kita tak harus melulu pada hal praktis muncul statemen sana sini, tetapi mari mengedepankan kejujuran dalam memandang problem Papua baik dari segi ekonomi maupun politik, ada apa dan kenapa sih gelagat Inggris saat ini soal Papua.
Geliat walikota Oxford yang meresmikan kantor OPM sah secara hukum tindakannya menjamin bahwa inggris dukung Papua Lepas dari NKRI. Entah kemudian di komentari pihak pemerintah setempat bahwa sang walikota bukan bagian dari pemerintah pusat negri ratu Elizabeth tersebut, mau atau tidak mau inilah awal pengakuan Papua Merdeka oleh negara asing sah adanya.
Walikota Jayapura yang meresmikan gedung baru entah itu supermarket, kegiatan seni budaya atau pameran apapun, tindakannya mewakili pemerintah pusat karena dia adalah kepala daerah di dalam suatu negara. Maka itu, sikap pemerintah Inggris yang menganggap tindakan walikota Oxford bukan bagian dari mewakili negara, hal yang keliru bahkan membodohi dunia internasional.
Miris lagi, euforia sebagian rakyat Papua menyikapi diresmikannya kantor perwakilan disana justru menuai korban. Pola sistemik yang berdampak pada pelanggaran HAM harus di batasi. Penulis heran, era pasar bebas sekarang, idiom HAM kemudian bercabang dua. Disatu sisi, teriak jangan ada pelanggaran HAM, tetapi disisi lain, pemicu pelanggaran HAM terus dibiarkan. Militer Indonesia tak bisa tembak orang Papua kalau di provokasi oleh pameran pameran separatisme di luar negeri dan geliat menyambutnya.
Inggris berniat buruk terhadap orang Papua. Ya, bicara HAM, adalah hak kami untuk dapat seluruh aset kekayaan alam kami, kenapa harus di jual oleh Inggris? Bicara HAM, kenapa praktik sistemik semacam pemberian ruang kepada OPM yang kemudian memicu ekskalasi kian memanas di bumi Papua. Teror, intimidasi, penembakan, orang Papua dalam bayang bayang ketakutan. Kehadiran Indonesia tentu mengadakan apa saja dengan legitimasi isu isu separatis. Nah, sudah tau trus kenapa harus masih memberi ruang bagi praktik pelanggaran HAM kian berlanjut?
Dahulu abad 20 hak orang Papua hidup tanpa batas batas negara kini telah dibatasi, sekarang di abad 21 hak hak orang Papua di cabik cabik dengan embel embel baju HAM, demokrasi, padahal hutan Papua sudah gundul, air tercemar dan beracun akibat zat kimia dari pertambangan asing, hutan sudah habis dibabat, mau gantung dimana nasib orang Papua. Kepunahan Papua baik fisik maupun entitas sudah kian nyata akibat politik konfrontasi internasional yang tak punya otak. Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H