Aturan PBB tentang PEPERA tahun 1969 dikenal one man one vote. Aturan pilpres 2014 pemilihan langsung, jujur dan rahasia. Siapa sebenarnya aktor yang mengebiri prinsip demokrasi sejak jaman Papua belum bergabung hingga bergabung dengan Indonesia?
Anak buah Benni Mordani kala itu (Sarwo Edi, Sintong Panjaitan), berhasil kumpulkan 1.026 kepala suku ikut pepera. Mereka mengabaikan aturan PBB tentang satu orang satu suara. Dengan alasan geografis, alasan perwakilan dijadikan alasan pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua. Pengibirian hak demokrasi itu, kini dipersoalkan.
Pemilu presiden 2014, maupun pemilu daerah, cara demokrasi palsu di era pepera, masih dianggap mahir, walau melanggar ketentuan UU pilpres. Mahkamah Konstitusi mengijinkan sistem noken hanya pada pemilukada dengan alasan sesuai otsus Papua. Sementara pilpres, aturan ini tidak berlaku.
Pada tulisan sebelumnya(http://kompasiana.com/post/read/658763/3/kenapa-papua-tidak-jadi-berkat-bagi-jokowi.html), penulis mengatakan bahwa seketika anak buah Beni Mordani gabung ke kubu Jokowi, basis gereja di Papua yang pada dahulu dipakai mantan pangab era Suharto itu sebagai basis intelejen, mereka kembali berkordinasi. Akses ke pelosok Papua sampai sekarang masih didominasi oleh gereja dan tentara. Maka tak salah, gerbong eks Mordani, berperan pada keunggulan Jokowi di Papua. Tak hanya di pilpres, oada hal lain juga, kelompok nasionalis kanan ini klaim memegang komando atas Papua, dengan dalih mayoritas kristen maupun dalih masa lalu pepera.
Semakin sempurna sudah, bahwa demokrasi palsu (tidak sesuai dengan mekanisme demokrasi), bukan hanya di pilpres kali ini, tapi menjadi budaya kotor yang terus dipertahankan hingga sekarang. Maka itu, bukan hanya Prabowo yang menuding 14 kabupaten di Papua cacat demokrasi, Bangsa Papua sampai saat ini masih menyuarakan praktik pepera yang kotor dan penuh dengan kepalsuan.
Indonesia langgar UU nasional itu hal biasa, sebab aturan badan dunia seperti PBB pun terbukti dilanggar gara-gara para kator yang sama tidak mengedepankan prinsip demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H