[caption id="attachment_335515" align="alignnone" width="614" caption="A composite photo of West Papua activist Ronny Kareni and Indonesian president Joko Widodo (ABC:Tim Leslie/AFP:Romeo Gacad)"][/caption]
Perahu Indonesia tra jelas arahnya mau kemana. Mereka hanya bawa Papua dalam perahu itu lalu pigi tawar-tawar ke pembeli diluar sana. Setelah dibeli, seenaknya saja pembeli pergunakan apa yang menjadi miliknya. Anehnya, di Indonesia ini, sudah jual tapi masih mengklaim diri sebagai pemegang kedaulatan wilayah Papua.
Prinsip negara yang tidak berdaulat dari segi ekonomi dan politik tra akan beri jaminan kedaulatan kepada warga negaranya dari segi apapun. Menjadi ironis bila keutuhan secara georafis dijadikan dagangan oleh penguasa semata demi kepentingan system dan golongan tertentu.
Dari jaman Trikora era Sukarno, Repelita era Suharto sampai pada era reformasi era sekarang yang beranak mumi otsus, semuanya trada manfaat. Iya, tra bermanfaat karena penguasa hanya tabor bunga nasionalisme sembari menjalankan praktik imperialisme asing membumi di Bumi Cenderawasih itu.
Perang Asia-Pasifik
APEC dan G-20 sudah berjalan. Di forum dunia itu sebagai kekuatan lobi bagi tiap Negara. Disana kelihatan mana negar yang benar-benar perjuangkan harkat dan martabatnya dan mana yang ikut pantat saja. Bahkan Negara berkembang cenderung mengambil pilihan curi peluang semata sehingga abu-abu dalam menentukan sikap. Pada forum APEC misalnya, deplu China setengah mati melobi petinggi Negara untuk mengakui kedaulatan hukum perairan China. Sementara Amerika sibuk meyakinkan program kelautan dunia kepada Negara-negara berkembang untuk tidak pro kepada China.
Presiden Indonesia yang bawa perahu didalamnya “masih ada Papua” ini, mencuri peluang dengan meneken berbagai saham permodalan asing. Sembari ikut rame bersama Amerika bicara soal laut. Jokowi bilang semua Negara sahabat harus hargai ketentuan laut dunia. Sebagaimana hal itu juga yang jadi agenda kampanye Amerika pada dua perhelatan dunia itu.
Josep Santolan yang baru saja merilis opininya pada situs sosialis dunia (wsws.org) mengatakan, China menjalin kerjasama ekonomi dengan Negara miskin melalui pengiriman BUMN mereka. Indonesia sudah bikin MOU. Kawasan panas seperti Jepang, Myanmar, India yang disokong juga oleh Amerika, satu suara dengan AS bicara soal perairan.
Sembari di Indonesia juga musim-musimnya bicara maritim. Tanah Papua di berada antara samudera pasifik dan hindia dan Australia, dibuktikan dengan beragam kekayaan laut yang sudah Nampak seperti Raja Ampat, Waigeo, Teluk Cenderawasih, dan masih banyak lagi. Sayangnya, kekayaan laut itu justru diawasi oleh Amerika Serikat melalui protap kelautan yang diciptakannya.
Indonesia Jadi Koki Kepentingan Imperialisme
Amerika mendorong regulasi laut dunia disaat China juga menagih komitmen Negara asia-pasifik soal penandatangan kelautan tahun 2002 silam. Berbicara pada sesi AS-ASEAN, Obama menekankan pentingnya semua negara di kawasan itu untuk mematuhi aturan berbasis norma dan hukum internasional. Suatu isyarat bahwa Amerika sedang kampanye kepada Negara asia untuk menempatkan China sebagai rezim aggressor di Dunia. Pada isu-isu ekonomi, Amerika menerpakan prinsip Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), sebuah upaya Washington untuk membentuk ekonomi arsitektur kawasan Asia Pasifik untuk kepentingan imperialisme AS. TPP dari Amerika hanya untuk menggeser Tiongkok dari Asia-Pasifik semata.
Bagaimana reaksi China? Mereka tidak tinggal diam. Selama KTT, Perdana Menteri Cina Li Keqiang berusaha untuk melawan tekanan dari Washington dengan mengusulkan apa yang disebutnya "perjanjian persahabatan" dengan negara-negara Asia Tenggara. Isi yang diusulkan intinya menekankan bahwa Beijing telah mempertahankan langkah kebijakan negosiasi bilateral dengan sejumlah Negara yang berada dalam zona laut China. Menurutnya, Washington telah mendorong resolusi multilateral untuk terus bernegosiasi terkait Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (DOC), yang ditandatangani Cina dengan negara-negara ASEAN pada tahun 2002. "
Demi perkuat isu kelautan, pemerintah Beijing telah mengajukan untuk membangun apa yang diistilahkan sebagai "21st Century Maritime Silk Road" dengan dana investasi senilai $ US40 miliar di seluruh wilayah. Bujukan ekonomi ini tidak diragukan lagi menarik bagi negara-negara berkembang di Asia Tenggara, tetapi tidak mengurangi ketegangan yang dihasilkan oleh Washington sedikit pun. Laut Cina Selatan adalah ekspresi ledakan ketegangan global yang mendidih dipicu oleh imperialis berkendara Washington untuk perang.
Perang Imperialisme AS itu bagi Indonesia memainkan peranan sebatas “koki”. Tukang masak dari isu-isu global bikinan Negara lain. Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pada ajang dunia tersebut menyerukan pembentukan sebuah Kode Etik di Laut Cina Selatan. Ia menyatakan bahwa Indonesia akan meningkatkan pengeluaran pertahanan dari 0,8 persen menjadi 1,5 persen dari produk domestik bruto selama lima tahun ke depan. Pada saat yang sama, ia mengatakan bahwa Jakarta akan menyeimbangkan antara Amerika Serikat dan China. Indonesia, menurut presiden, akan tetap di tengah. Konstitusi Indonesia menetapkan bahwa mereka harus melakukan diplomasi bebas aktif. Selalu bersedia untuk berperan aktif sebagai perantara yang jujur, ujar presiden Indonesia yang belum lama menjabat itu.
Stop Kirim Sampah ke Tanah Papua
Tiga belas tahun (periode penanganan Papua) era otsus, Indonesia kasi dana kira-kira sampai tahun 2014 mencapai 70 trilyun. Sementara Freeport bor kekayaan Papua di Amungsa selama setengah abad bawa untung ribuan trilyun. Sekarang, era kabinet kerja dengan semangat “katanya” revolusi mental, bawa proyek infrastruktur masuk Tanah Papua. Mereka (rezim Indonesia saat ini) juga canangkan transmigrasi dan ingin batalkan otsus melalui mekanisme evaluasi melalui depdagri hingga pemekaran wilayah jadi dua provinsi baru (genap 4 provinsi) di Tanah Papua.
Informasi terakhir, pemerintahan yang baru mau tiadakan Otsus, jadi kita ikuti saja, kalau itu ditiadakan oleh pemerintahan baru lebih baik lagi, jadi ini kita bersatu bersama kebijakan nasional yang tidak memahami Papua,” kata Lukas Enembe kepada tabloidjubi, saat Rapat Khusus Pemegang Saham Bank Papua, di Hotel Swisbell Jayapura, Papua, Jumat (14/11). Menurut Enembe, masyarakat Papua baru menikmati Otsus dari 2001 sampai hari ini, 13 tahun pembangunan Papua. “Sejarah 17 Agustus 1945 sampai 1969 kita tidak tahu kita ada dimana, 1969 sampai 1996 itu kita dianiaya, disiksa, dibunuh oleh pemerintahan orde baru,” katanya.
Otsus yang mementingkan bahkan didesain untuk mengangkat derajad orang asli Papua sama dengan penduduk lain di dunia saja sudah tak bernyawa, datang lagi kepentingan asing via infrastruktur di era Jokowi-JK. Walau ada otsus saja, orang asli Papua di bagian selatan tinggal 40 persen. Belum daerah lainnya. Bahkan data BPJS Indonesia sendiri mencatatkan rekor pertumbuhan penduduk Papua Barat jauh dibawah Papua Timur (PNG) padahal tahun 1969, jumlah penduduk Papua Barat lebih tinggi dari Papua Timur. Penduduk Tanah Papua bagian Barat 700 ribu jiwa sementara bagian Timur 300 ribu jiwa. Sekarang, orang Papua PNG sudah capai 7 juta jiwa sementara bagian barat baru tembus 3 juta jiwa khusus yang asli.
Indonesia sebenarnya mau bangun atau kasi hidup barang apa di Papua kah? Manusia yang diklaim sebagai warga Negara sudah demikian kualitas hidupnya. Degradasi orang Papua dan alam mereka akibat barang imperialism Amerika yang dikirim Indonesia ke sini. Melalui proyek investasi bikin rusak tanah, hutan dibabat habis, manusia dugusur pindah dari habitatnya. Baru-baru ini saja, aparat brimob yang jaga lahan kebun sawit nabire baru melarang warga adat dengan alasan, ini tanah milik Negara jadi sudah dikuasai perusahaan sehingga masyarakat adat trada hak. Ow, di Indonesia itu Tanah dikuasai Negara otomatis milik perusahaan? Well? Indonesia stop kirim sampah imperialisme ke Tanah Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H