Mohon tunggu...
Arkilaus Baho
Arkilaus Baho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Duluan ada manusia daripada agama. Dalam kajian teori alam, bahwa alam semesta ini usianya 14.000 juta tahun, baru setelah 10.000 juta tahun kemudian terdapat kehidupan di bumi ini. Manusia jenis Homo Sapiens baru ada 2 juta tahun yang lalu, sedangkan keberadaan agama malah lebih muda dari kemunculan agama yaitu 5 ribu tahun lalu. B.J Habibi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hacktivist Kampanye Serang Trans Pasifik Parthersip

15 November 2013   04:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:09 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kami akan bangkit dan mengambil kembali internet, merebut kembali apa yang menjadi milik kita untuk kebaikan bumi dan penghuni bumi (Hacktivist)

Ketika hukum suatu negara menjadi mandul, penyelenggara negara sudah masuk perangkap boneka negara tertentu, sistem ekonomi yang cenderung menguntungkan segelintir orang saja, bahkan cara-cara mengeruk kekayaan dari negara lain untuk dibawa kepada negara tertentu, memucu berbagai tragedi. Dari tragedi kemanusiaan, demokrasi, HAM dan tentunya, saat ini, Hacktivist hadir sebagai media baru dalam penyampaian maksud.

Orang-orang menyampaikan pesan perlawanan kepada Amerika Serikat kembali mengemuka. Kelompok peretas situs kembali mengancam, akan menyerang seluruh kegiatan, bentuk apapun, dari upaya Amerika Serikat menaikan hegemoninya dari Pasifik. Trans Pasifik Parthersip (TPP) bakal mendapat tantangan dari orang-orang maya.

Gerakan Cyber memang bukan maen-maen. Sudah terbukti, apa yang dialami negara australia akhir tahun 2013. Kini, dengan geliat meretas, mereka menyampaikan pesan via youtube (gambar) bahwa akan kembali mengganggu proses dagang yang didirikan Amerika Serikat dan sekutunya.

Menurut mereka, TPP jauh lebih buruk dari kontroversial SOPA atau ACTA. Jika itu ditandatangani, hukum hak cipta akan didorong ke batas yang mendukung perusahaan. Hacktivists, mendesak pendukungnya untuk mulai meningkatkan kesadaran tentang 'ancaman' karena banyak orang tidak menyadari konsekuensi.

[caption id="attachment_278091" align="alignnone" width="630" caption="Kami akan bangkit dan mengambil kembali internet, merebut kembali apa yang menjadi milik kita untuk kebaikan bumi dan penghuni bumi (Hacktivist)"][/caption]

TPP tersebut bagi mereka akan membatasi akses dunia untuk pengetahuan dan menghancurkan internet seperti yang kita tahu. Kami akan bangkit dan mengambil kembali internet, merebut kembali apa yang menjadi milik kita untuk kebaikan bumi dan penghuni bumi, ujar penggagas kampanye.

Hacktivist adalah hacker yang menggunakan teknologi untuk mengumumkan pandangan sosial, ideologi, agama atau pesan politik. Kadang, teror semacam itu sebagai efek psikologis. Bagaimana dengan keamanan situs dan data dari suatu kepentingan. Mengingat, dunia kini berpakaian teknologi, maka hadirnya orang-orang yang mengirim pesan perlawan melalui identitas palsu, sejalan dengan era digital yang tentu dipakai orang-orang moderen hari ini, dalam melakukan aktivitas, baik politik maupun ekonomi.

Hadirnya efek cyber dengan menohok keberadaan zona dagang AS di Pasifik ini, telah saya ulas pada artikel sebelumnya. Bahwa Atasi Freeport saja susah sekali, apalagi, banjir pasar bebas asia yang bergulir paska tahun 2015? Ini lebih parah. Kedaulatan Negara, kedaulatan rakyat, proteksi Negara semakin jauh dari harapan. Belum apa-apa, Amerika sudah masukan perusahaan mereka dibawah prospek perdagangan asia pasifik. Trans-Pasific Partehership Agreement (TPPA), salah satu wadah dagang bikinan AS untuk, mengawasi Negara koloninya di asia pasifik menuju pasar bebas asia nanti.

Para Hackvist hadir sebagai bentuk kekecewaan dari tidak kuatnya pemerintahan negara yang telah menelan dokrin agar terus menjadi boneka AS, melalui bermacam-macam regulasi internasional dan regional, negara terntentu dibuat Amerika seperti tidak punya lagi kedaulatan. Kejahatan cyber memang patut diakui sebagai sikap yang muncul akibat lemahnya instrumen negara dalam melawan hegemoni Amerika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun