[caption id="attachment_338482" align="aligncenter" width="624" caption="Skema Otsus: Pada praktiknya, otsus hendak memaksakan orang Papua agar sejalan dengan kehendak globalisasi ataukah otsus diberikan agar globalisasi sejalan dengan konteks Papua?"][/caption]
Disaji pada seminar (Dana Otsus Papua untuk Siapa)?!, Malam Keakraban Ikatan Keluarga Mahasiswa Sorong Raya 21 November 2014, Desa Wisata Kali Bawang Wates, Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta
Praktik Globalisasi
Globalisasi Asia-Pasifik dicanangkan pada tahun 2015 dengan istilah masyarakat ekonomi asian (MEA). Itu artinya, pasar bebas kian meningkat (ekskalasi disertai kehancuran). Era dimana masyarakat Indonesia dituntut untuk masuk kedalam zona tersebut dan berlomba untuk mendapatkan untung dari sana. Pemerintah kemudian mengembankan dan meningkatkan ekonomi kreatif demi membawa warganya siapa menatap MEA ini.
Tanah Papua (Papua-Papua Barat) kini dihadapan mereka hadir investasi dari berbagai sector. Baik pertambangan, minyak dan gas, perkebunan sawit dan industri apa saja. Trada orang Papua yang di tanah leluhurnya tidak ada perushaaan. Semua mengaga raksasa ekonomi ada didepan mereka. Sebagian tanah, hutan, air sudah rusah. Hutan dirambah dengan skala besar maupun kecil. Dusun sagu, tempat keramat, kampung-kampung lama, yang merupakan asal-usul marga, suku atau keret, sudah trada.
Otsus Papua lahir karena kepentingan pasar dunia (globalisasi) bukan karena tuntutan merdeka. Kepentingan perusahaan untuk urus ijin berupa HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), IPK (Ijin Pengelolaan Kayu/Ijin Pertambangan Khusus) serta masih banyak lagi. Mereka ingin eksploitasi kekayaan Tanah Papua tetapi mengalami kendala berupa birokrasi sehingga dengan adanya otsus, ijin diteken Bupati atau gubernur dengan mudah mereka dapat.
Kamorang Ikut Kami (Globalisasi) Supaya Sejahtera dan Makmur
Mimpi bahwa banyak perusahaan atau investasi akan banyak lapangan kerja, uang banyak masuk ke daerah, fasilitas publik berupa jalan raya, kesehatan, sekolah dan seterusnya bisa didapatkan rakyat setempat. Pola itu, dalam kancah pasar bebas, dikenal dengan dana-dana sampah “alias” tetesan modal dikasi dalam bentuk CSR (Community Social Responsibility). Selain CSR, uang dikasi dalam berbagai bentuk berupa pajak, fee dan royalty. Nilainya tergantung MOU yang diteken pemerintah bersama investor.
Era otsus, Selain perusahaan raksasa yang sudah beroperasi, investarisasi ijin investasi perkebunan dan pertambangan se-Tanah Papua versi departemen dalam negeri per-oktober 2014 (Baca: Lampiran: Peta Inventarisasi Ijin dan Perusahaan di Papua dan Papua Barat). Didata ada 85 perusahaan sawit dan perkebunan plasma. Telah beroperasi ada 8 perusahaan sedangkan pertambangan terdapat 9 investasi diluar Freeport dan LNG BP.
Sebelum kita bertanya kemana dana otsus Papua? Soal pajak, tidak semua harus masuk ke KAS daerah. Dinas Kehutanan Kabupaten yang kelola pajak kayu industry, mereka kirim ke rekening menteri, dan nanti dari kementerian transfer langsung ke kas dinas melalui UU perimbangan keuangan pusat dan daerah. Seluruh pajak dari investasi itu diarahkan ke pemerintah pusat. Pertanyaanya, dimana implikasi UU otsus (UU N0.21/2001 Jo PERPU N0.1 Tahun 2008/UU N0.35 Tahun 2008), Papua tentang 80 persen kekayaan daerah masuk daerah dan 20 persen ke pusat? Tentang ini (Baca: Lampiran: Mumi Otsus Papua).
Mekanisme Pasar (Market Mekanism) berlaku juga di Tanah Papua dan Bagaimana seharusnya Kita Menyikapinya?
Profesor apa saja yang lahir dari dunia kampus tetap berada dalam kekungan system pasar. Anda lulus sarjana kedokteran, hukum, politik dan lainnya, tentu dibawa atau membawa diri pada apa yang sudah dunia berlakukan. Seorang dokter misalnya, dia harus patuh pada proyek industry farmasi milik para pemiliknya. Obata-obatan dijual dan tenaga medis seluruh dunia tra akan bekerja tanpa ketersediaan obat. Lebih mengerikan lagi, ilmuwan Negara tertentu dibayar untuk menciptakan virus (HIV/AIDS/Ebola, Flu Burung, Flu Babi, hama-hama tanaman) dan seterusnya. Mereka lalu menjadikan manusia sebagai uji coba. Bila berhasil, yang mendapat untung dari proyek tersebut adalah industry farmasi itu sendiri.
Itu hanya konteks kesehatan mahluk hidup dari segi persaingan industry farmasi. Masih banyak gejala (sosial, ekonomi dan politik) yang diciptakan demi menghadirkan mekanisme ekonomi pasar sebagai pahlawan penyelamat mahluk hidup. Dari segi politik dan demokrasi, juga tak luput. Negara-negara berkembang, termasuk otsus Papua, merupakan lahan bagi pasar untuk menciptakan ketergantungan. Manusia trada harapan akan mudah disetir dan mudah diatur, diajak untuk ikut mereka punya mau.
Otsus sudah jelas bikin manusia Papua bawa proposal keluar masuk kantor dinas dan lupa bakar kebun dan tanam kacang. Orang kampung memilih jual tanah mereka demi perusahaan masuk daripada pikir tanah mereka sebagai modal berusaha sendiri. Mereka kemudian tergusur ke tempat lain dan menderita bahkan mati kelaparan. Sekaranag, menurut data BPS orang asli Papua tinggal 40 persen, 60 persen masyarakat luar. Penulis juga mencatat bahwa hanya 25 persen orang Papua yang masih bakar kebun, melaut, berburu. Sisanya tergantung pada aktivitas perkotaan. Sekarang, menghadapi pasar bebas tahun 2015, bagaimana nasib otsus (uang otsus kemana) itu, dalam persaingan dua zona dagang (mekanisme Pasar) bikinan Amerika dan China.
MSG Versus TPPA dimanakah Otsus Berpijak
Tahun 2025 otsus berakhir. Sekarang, pejabat daerah berpikir agar dana otsus disisihkan supaya begitu selesai paket itu, pemerintah masih punya dana. Pemerintah pusat Indonesia sudah komit masuk zona Masyarakat Ekonomi asian (MEA) 2015. Persaingan pasar asian tersebut sekarang oleh Amerika Serikat mengajukan Trans Pasifik Parthership Agreement (TPPA). Forum tersebut beranggotakan 21 negara, termasuk Indonesia. Kenapa ada TPPA? Ya, karena Amerika ingin lebih dekat menguasai kekayaan alam Negara-negara berkembang dan menggeser Negara China dari zona Asian.
Kawasan Pasifik khusus untuk rumpun Melanesia, menghadapi globalisasi 2015, mereka mendirikan Melanesian Spearhead Groub (MSG). bergabung 4 negara tambah 1 front sosialis Kanaki dari Kaledonia Baru. Papua Barat sedang dalam proses menyatu kesana. MSG ini tak lain adalah praktik politik dan ekonomi rumpun dunia yang ada di daerah Melanesian. Ada Uni Afrika di daratan Afrika dan ALBA di kawasan Amerika Latin. China sekarang ikut lagi melalui klaim laut china selatan. Indonesia di MSG sebagai pengamat atau peninjau.
Corak MSG maupun TPPA terletak pada cara menjalankannya. TPPA mengandalkan perusahaan yang maju sebagai pembuat komitmen atau kebijakan, sementara Negara tidak ada urusannya lagi soal bisnis. Sementara MSG mewajibkan Negara yang bertanggungjawab dalam segala urusan dagang di kawasan apapun. Ketika Freeport bikin masalah pencemaran lingkungan, maka perusahaan sendiri bertanggungjawab da bukan Negara AS. Kontrak jual GAS di Bintuni diteken langsung oleh Negara China walaupun perusahaan china yang beroperasi. Disini letak praktik antara dua zona dagang yang akan masuk Papua tahun 2015.
Kondisi persaingan diatas tentu membuat masyarakat otsus Papua terkena dampak. Kenapa? Karena globalisasi sudah diakui Indonesia sebagai ajang mengambil keuntungan disana demi membangun kesejahteraan rakyat. Bagaimana dengan nasib Papua? Tentu, sejalan dengan pemerintah Indonesia sebagai bagian dari Negara kesatuan.
Jadi, kemana uang otsus Papua? Dari sebelum otsus berlaku sampai sudah berjalan 13 tahun lamanya, cara mudah memandang uang digunakan jangan dari data diatas kertas saja, tapi lihat realitas di lapangan. Apa saja yang perlu dilihat? Kualitas Manusia. Disini bukan hanya jumlah SDM tapi sejauhmana manusia Papua hidup dan bertumbuh dalam jumlah yang banyak dan kesehatan juga (Baca Lampiran: Indonesia Stop Kirim Sampah Imperialisme ke Tanah Papua).
Perlu adanya ruang (sistem yang memihak) kepada rakyat Papua. Entah manusia asli di tanah itu maupun berbagai kepentingan yang datang, harus berada dalam driver kepapua-an. Akut/bakit Papua, kita orang sudah punya mekanisme yang harus dijadikan pedoman bagi pembangunan apa saja di Tanah Papua.
Skema Otsus: Pada praktiknya, otsus hendak memaksakan orang Papua agar sejalan dengan kehendak globalisasi ataukah otsus diberikan agar globalisasi sejalan dengan konteks Papua?
***
Baca Juga: IKMASOR DIY Desak MOU Pendidikan dan Moratorium Investasi di Tanah Papua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H