PT. Freeport Indonesia resmi menolak upaya Divestasi yang di kembangkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Menolak divestasi berarti secara langsung meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) No 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mewajibkan perusahaan tambang asing menjual sahamnya (divestasi) kepada investor lokal sebanyak 51%.
Divestasi memang tak layak untuk di perjuangkan. Kenapa? karena beban utang perusahaan akan di tanggung oleh pembeli saham perusahaan. Artinya, pinjaman freeport di bank asing akan di tanggung pemerintah kalau memang menyepakati pembelian atau penyerahan saham yang menurut pemerintah sejumlah 51 persen itu. Tulisan saya sebelumnya tentang divestasi disini
Alasan penolakan yang dilansir kompas.com, mereka ( FMC ) sudah memiliki kontrak karya (KK) dalam menjalankan pertambangan Grasberg dan tambang emas di Indonesia. Dalam KK tersebut sudah disepakati soal pembayaran royalti ataupun tarif pajak kepada Pemerintah Indonesia. Kontrak ini, menurut Freeport-McMoRan, sudah diteken sejak 1991.
Tak hanya itu alasannya, Untuk kewajiban divestasi tahap pertama PTFI sudah dilaksanakan. Pada tahun 1991, perusahaan emas dan tembaga asing itu melepas 9,36 persen ke pihak nasional lewat PT Indocopper Investama.
Sayangnya, untuk kewajiban divestasi tahap kedua gugur setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1994. Di dalam PP tersebut, kepemilikan saham asing pada anak perusahaannya di Indonesia boleh sampai 100 persen. Dengan demikian, sampai sekarang kepemilikan saham nasional di PTFI masih kecil.
Yang pasti, Perusahaan tambang asal Paman Sam ini menyatakan perusahaannya tidak tunduk pada persyaratan divestasi sebesar 20 persen seperti yang diamanatkan aturan baru tentang pertambangan di Indonesia.
Isu divestasi yang mencuat awal tahun 2012 ini baru berwujud dalam bentuk PP. Di sisi lain, dengan keharusan divestasi 51% kepada investor lokal, akan membuat emiten di sektor pertambangan tidak lagi didominasi oleh asing. Divestasi bertujuan mendorong ekonomi domestik maupun memperkuat rasa kebangsaan.
Freeport sebagai perusahaan asing pertama yang dianggap bermasalah saat ini, dengan menolak divestasi, membuktikan bahwa upaya pemerintahan SBY-Budiono untuk mengatur perusahaan asing di Indonesia demi mendongkrak ekonomi nasional Indonesia sia-sia saja. Alasannya, ketika freeport menolak, efek domino pasar akan satu suara, lalu kemana saja PP N0. 24 tersebut punya gigi?.
Pemerintahan yang terkenal dengan semboyan kabinet bersatu saat ini suka bikin kebijakan tapi efektifitasnya nihil. Ada banyak satgas yang di hasilkan pemerintahan ini, tapi satu pun tidak efektif. Jangankan dari segi pengaturan SDA yang belum berjalan saja sudah di tolak, bahkan perusahaan asing tak takut dengan rezim ini sehingga masih terus " ngeyel".
Freeport sebagai ikon perusahaan asing di Indonesia sudah menolak divestasi, anggap saja, PP 24 tahun 2012 tak ada giginya. Sama dengan SBY punya berbagai satgas yang kaco balo. Mulai dari satgas mafia pajak, satgas UP4B, satgas MP3Ei, dan satgas lainnya yang tak berati apa-apa. Itu artinya, SBY merana bahkan boleh di kata " mati rasa " dengan kebijakannya selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H