Nelayan Indonesia tidak ingin kartu apapun dari pemerintah, mereka hanya ingin BBM jangan naik, itu saja. Pejabat Papua tra perlu otsus, hanya perlu saham Freeport. Sementara Freeport atau perusahaan apapun yang masuk ke Indonesia tra perlu orang Papua atau Indonesia pada umumnya miskin, dibunuh, dibantai atau mati kelaparan tarada masalah, asalkan usaha investasi mereka meraup untung. Siapa yang bodoh dan mau dibodohi dari cara-cara imperialisme terus menerus?
Divestasi saham, budaya mengemis saham dari Negara kepada perusahaan besar sudah kuno alias ketinggalan Jaman. Ini yang saat ini terjadi di Indonesia. Mentalitas inlander bikin berbagai pihak pasrah saja dan pilih jalan murah meriah tapi ujung-ujungnya praktik itu hanya sebatas angka dan proyek hukum.
Beroperasi setengah abad, raksasa emas dan tembaga pemilik dari Amerika itu makin kuasa dan kuasi. Dipukul Negara melalui UU PMA awal, tra mempan. Di gilir lagi melalui UU Minerba 2009, sama saja tra bisa. Ada lagi PP N0.1 Tahun 2014 tentang pajak 3,75 persen. Sekang diatur dalam ijin pertambangan khusus, makin jaya saja tuh perusahaan tersebut. Pada akhirnya divestasi saham berupa bangun smelter lagi. Dari smelter itu diharapkan 30 persen saham kasi pihak lain yang disodorkan Negara termasuk pemda Tanah Papua.
Pemerintah menurunkan besaran divestasi saham tambang mineral dan batubara milik perusahaan asing dari sebelumnya 51 persen menjadi hanya 30 persen. Selain besaran, sesuai Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2014, pemerintah juga memperpanjang waktu kewajiban divestasi dari 10 tahun menjadi maksimal 15 tahun. PP yang ditandatangani mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Oktober 2014 itu merupakan revisi PP No 24 Tahun 2012. PP 77/2014 menyebutkan perusahaan dalam rangka penanaman modal asing wajib mendivestasikan saham secara bertahap setelah lima tahun berproduksi.
Lips Service Freeport
Gubernur Papua tra tinggal diam. Dia ambil peluang. Keliling Jakarta sampai markas Freeport di Arizona, ingin supaya saham 30 persen Freeport jatah provinsi Papua. Tindakan gubernur tak sebatas itu. Dia juga soroti pajak Freeport ke DKI Jakarta sekaligus ribut soal royalty ke Papua kecil sekali. Pajak berupa free, royalty tiap enam bulan itu, Freeport harus bayar tiga kali dalam setahun.
Pejabat Indonesia kenapa pusing dengan divestasi? UUD 45 jelas pasal 33. Modal Papua adalah punya tanah operasi perusahaan. Lalu, UU otsus amanatkan 80 persen kekayaan daerah ke Papua. Maksudnya, kekayaan daerah ini yang bukan dikelola pusat seperti Freeport yang hendak diikat melalui IPK (ijin pertambangan khusus). Jangankan regulasi Negara, banyak aturan tra bermanfaat. Penghasilan Freeport tetap yang utama dipikirkan. Mogok pekerja Freeport tuntut upah, suda bikin UU sendiri lias MOU, toh realisasinya? Nol!.
Divestasi saham tra sama dengan akuisisi saham. Modal perusahaan sebagian dikasi atau dijaminkan atau disisihkan perusahaan kepada pihak lain dalam hal ini pemda atau pempus Indonesia. Saham tadi, tentu ditaruh di bank luar pilik perusahaan tersebut. Dari sana, manajemen mereka atur lalu kasi ke Negara. Ini sama saja dengan mereka biasa kasi fee, royalty atau CSR. Praktiknya sama saja, Cuma nama atau istilah yang beda. Ibaratnya, Indonesia adalah babu (pembantu) dari Freeport. Si babu ini ribut-ribu minta diberi kamar atau dapur supaya dia masak dan tidur sendiri sembari jaga dan perhatikan tuannya punya kompleks rumah.
Jangankan penyimpanan atau pencadangan modal ekonomi perusahaan kepada pihak pemerintah, saham dari tragedi berganti tragedi lebih besar nilainya yang harus dibayarkan perusahaan bersama Negara. Biaya politik, kemanusiaan, lingkungan hidup, kualitas hidup masyarakat sekitar tambang, justru lebih besar dari divestasi 30 persen saham itu. Darah, air mata yang bercucuran akibat berbagai tindak kekerasan, jauh dari rasa adil. Pelanggaran HAM selama setengah abad Freeport hadir disini belum pernah dituntaskan. Gula-gula (lips service) divestasi, Indonesia makin ketinggalan jaman.
Google search: divestasi saham Freeport
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H