Mohon tunggu...
Arkilaus Baho
Arkilaus Baho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Duluan ada manusia daripada agama. Dalam kajian teori alam, bahwa alam semesta ini usianya 14.000 juta tahun, baru setelah 10.000 juta tahun kemudian terdapat kehidupan di bumi ini. Manusia jenis Homo Sapiens baru ada 2 juta tahun yang lalu, sedangkan keberadaan agama malah lebih muda dari kemunculan agama yaitu 5 ribu tahun lalu. B.J Habibi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Demokrasi Indonesia Cacat Esensi

26 September 2014   19:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:24 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang dengan bebas dan merdeka penuh menentukan sikapnya, dalam hal ini memilih kepala daerah atau apa saja. Itulah esensi demokrasi. Dunia menyebutnya "one man one vote" (satu orang satu suara). Bagaimana dengan mekanisme perwakilan yang sudah diperagakan pada proses PEPERA 1969, lanjut ke mekanisme noken di Papua maupun sekarang dengan adanya UU Pilakada? DPR RI melalui voting 26 September 2014, sudah sahkan RUU Pemilukada jadi UU. Gubernur, Bupati, Walikota dipilih oleh wakil rakyat di DPRD, dimana sebelum reformasi, mekanisme perwakilan dianggap sah kala itu.

Perlu di ketahui, budaya politik demokrasi yang menjadi fundamen NKRI seputar musyawarah mufakat. Jadi, periode sebelum reformasi, disepakati pemilu perwakilan, setelah reformasi sepakat pemilu langsung, pas tahun 2014 sepakat lagi pemilu tak langsung khusus untuk daerah saja, kedepan apakah kembali lagi ke pemilu langsung lagi atau tidak, tergantung kemauan politis para penguasa menyepakatinya seperti apa. Bahkan argumentasi hukum di Indonesia soal aspek demokrasi bahwa mekanisme perwakilan maupun langsung tak soal asalkan demokratis.

Perlu juga dipahami, dalam konteks sila ke-4 Pancasila, siapa sih yang wakil rakyat? DPR/DPRD atau pemerintah (presiden-kepala desa). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Penafsiran perwakilan dan permusyarawatan memang multi tafsir. Ada yang bila sebaiknya proses tersebut dijalankan pada prospek kesepakatan agenda antara wakil rakyat dengan pemerintah (semacam dengar pendapat).

Syarat utama sebuah negara hadir di muka bumi adalah ada rakyat dan wilayah. Soal aturan negara disepakati. Mau apa-apa di negara tersebut, kembali pada kehendak rakyat itu sendiri mau diapakan tuh negara mereka. Seiring dengan perkembangannya, era sekarang, dikenal dengan organ pembentuk aturan. DPR bersama pemerintah diberikan hak dan wewenang untuk membentuk aturan hukum negara. Merekalah yang diberi kuasa oleh rakyat melalui pemilu. Ketika anda dan saya menyoblos di TPS, atau ikut menyepakati hal apapun yang hendak dijalankan oleh orang yang kita pilih, maka pelimpahan wewenang dan kekuasaan kita sudah kita berikan kepada mereka atau pribadi yang anda pilih.

Dengan UU baru pemilukada yang telah disahkan, maka kekuasaan wakil rakyat (DPR/DPRD) sama-sama kuat dengan presiden. Kenapa? Karena DPR/DPRD dengan Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan kepala daerah yang dipilih wakil rakyat di gedung-gedung mewah, mereka punya kuasa terbatas. Seorang kepala daerah justru takut DPRD daripada takut rakyatnya. Presiden pun takut kepada rakyat.

Bagaimana mengembalikan hak anda usai memberikan hak kepada mereka? Cara maksimal dalam negara demokrasi adalah revolusi total, cara minimal dalam demokrasi terpimpin adalah menempuh jalur hukum via alat kelengkapan negara (birokrasi hukum) berupa lembaga-lembaga negara seperti pengadilan.

Esensi demokrasi sudah jauh dari praktiknya di Indonesia. Ketika mekanisme demokrasi diatur melalui produk undang-undang, maka demokrasi sebuah negara dijalankan oleh pemerintah, bukan lagi kehendak rakyat. Aturan hukum negara yang menjalankan demokrasi sudah membunuh demokrasi itu sendiri. Undang-undang pemilu bukan pembenaran atas demokrasi, tetapi kembalikan demokrasi pada pokoknya. Jangan dicabik-cabik dengan berbagai tafsir yang ujung-ujungnya memundurkan prinsip kemerdekaan tiap orang menentukan haknya.

Dengan demikian, negara Indonesia belum paham apalagi menjalankan sila ke-1 dan 4 pancasila. Kenapa? Sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa ditafsirkan bahwa negara Indonesia berlandaskan sekian agama, maka seterusnya disahkan sekian agama saja, lebih dari itu illegal. Padahal, Ketuhanan Yang Maha Esa lebih pada pembenaran (pengakuan) atas kekuasaan mutlak Tuhan, sampai disitu, tak perlu ditafsir-tafsir lagi nanti jadi masalah besar. Sementara sila ke-4 tentang perwakilan, ditafsir bahwa mekanisme apapun asalkan demokratis. Padahal, kadar demokrasi itu sendiri meleset jauh dari praktik one man one vote. Misal, penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat Papua (PEPERA) tahun 1969, mekanisme (noken-ikat) diklaim sejalan dengan budaya setempat, hingga RUU Pilkada yang sudah disahkan, seluruhnya membodohi rakyat Indonesia dalam berdemokrasi karena meleset jauh dari esensi demokrasi itu sendiri.


  1. Selamat kepada lembaga survey yang bakal guling tikar karna tak lagi bikin survey pemilukada
  2. Selamat kepada KPPS yang nganggur dan hanya bekerja pada pilpres dan pileg
  3. Selamat kepada KPU di daerah yang punya kewenangan terbatas karena DPRD ambil alih sebagian fungsi pemilukada
  4. Selamat kepada daerah Kulon Progo di Jawa Tengah yang tiap kali selenggarakan pilkada langsung, dana APBD tra cukup, sekarang semoga cukup

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun