Era otsus memuluskan praktik dagangan kepada elit lokal. Era Daerah Operasi Militer, kendali Papua kepada rezim kemiliteran. Era penentuan nasib politik Papua, Amerika Serikat mendapat hadiah istimewa dari Indonesia dengan kasi tambang eastberg, dibalas amerika dengan melobi dunia agar Papua bagian dari NKRI. Sekarang, bola otsus plus dibagi-bagi lagi. Setelah elit Papua Barat mendapatkan provinsi sendiri, berikutnya Papua tengah dan selatan dan Papua Barat Daya, opsi 14 kursi DPR Papua khusus digarap dan diserahkan kepada koloni tertentu, dalam hal ini, mereka yang menyuarakan merah putih. Ramses Ohe sebagai kubu yang akan mendapatkan hadiah tersebut. Ditambah lagi sejumlah kelompok yang terlibat dalamnya.
Bukan hal baru, sebab, usai garis batas Papua Timur-Papua Barat ditarik abad ke-20, Inggris dan Belanda meninggalkan praktik dagang ini sampai era Indonesia sekarang. Menguat lagi dengan resistensi blok timur-blok barat pada satu fase, menistakan gonjangan politik dan ekonomi yang sampai sekarang, sulit di atur. Tatanan masyarakat Papua terguncang, terurai dan menghadapi kenyataan.
Dahulu, pulau Papua usai ditemukan oleh para pelayar, kini praktik dagangan jadi nyata. Aksi-aksi pedagang rempah-rempah dari negara Belanda hingga pelaut Cina yang mengumpulkan barang-barang antik di pulau ini, dulunya bekerja dengan koloni sendiri-sendiri. Sekarang, koloni sistem merapatkan cara mereka.
Mekanismenya, nasib Papua era Belanda, dunia harus minta ijin ke negara Ratu Juliana bila ada keperluan kesana. Era DOM, seluruh kepentingan Papua melalui proses filter lewat markas ABRI waktu itu. Era Otsus, seluruh kemauan apa-apa harus lewat kepala daerah. Sekarang, soal kursi wakil rakyat, dibuat 14 kursi khusus, seperti Aceh. Ada juga partai lokal dicantumkan dalam era otsus plus. Bagi-bagi kekuasaan, baik politik lokal hingga konsensi ekonomi, tentu sejalan dengan pola dagangan ini. Hadiah perdasi/perdasus yang memberikan kue otsus plus kepada tokoh masyarakat setempat, tak ubahnya dengan pemerintah pusat kasi kue otsus kepada purnawirawan militer melalui kebijakan UP4B.
Praktik dagang sepanjang usia Papua ditemukan dunia, tak ada perubahan sesuai dengan semboyan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan seterusnya. Kenapa? praktiknya memang bukan untuk kepentingan orang banyak di Papua, tapi dagangan antar para elit yang berseteru. Orang-orang muda Papua yang bangkit pun, akhirnya terjerumus pada pola bagi-bagi kue. Terbukti dengan generasi pemerintahan Papua dan Papua Barat yang mencontek/menerima cara pembangunan Papua dari opsi-opsi daerah lain, sebut saja regulasi Aceh dianggap tepat bagi Papua. Padahal, corak Papua beda dengan Aceh, baik dari segi politis, sosial dan budaya. Sejarah perkembangan masyarakat Papua tidak sama dengan Aceh, sehingga pemberlakuan kebijakan birokrasi, tentu tidak sama.
Supaya tetap mulus, pola-pola dagangan di Papua mengesampingkan hukum positif. Undang-undang dibuat asal-asalan, yang penting memenuhi unsur politis, yaitu untuk meredam aspirasi kemerdekaan, langsung disahkan. Padahal, pembuatan produk hukum di negara merdeka dan berdaulat, harus sejalan dengan konstitusi. Asas-asas hukum jelas menjadi wajib bagi penerapan hukum. Ini tidak ada dalam sejarah kebijakan pemerintah ke Papua. Lihat saja, sejak dahulu, hanya Uncen-Unipa-DPRD/DPRP/MRP dan Pemda setempat, diam-diam rancang UU, lalu sedorkan ke Jakarta. Tanpa perlu rakyat di Papua terima atau tidak, kegentingan politis Papua membuat produk kebijakan mengalir, asalkan menjawab kepentingan kubu-kubu penguasa lokal yang nota bene agen imperial. Baik yang di pemerintahan maupun diluar.
Pola-pola kebijakan diatas merupakan praktik dari rezim AS yang terus menggenggam Papua Barat di tahun 2014. Kebijakanya, cara mengatasi masalahnya, sampai pada suhu demokrasi pun, tetap, regulasi Imperialisme AS melekat. Karena memang, sejak Papua di bohongi paska regulasi PEPERA tahun 1969, sejak itulah, mainstream kebijakan Amerika melekat pada praktik hukum, politik, ekonomi maupun cara-cara konfrontasi. Dengan demikian, rezim AS mengulangi kepunahan satu suku di Arfak Manokwari era Belanda, sekarang, sudah ribuan orang Papua terjangkit virus mematikan. HIV/AIDS adalah data yang kerap melambung dari Papua, belum lagi kematian akibat operasi militer, racun melalui suntikan, pendidikan yang menganut sistem pasar, penanganan di bumi cenderawasih, mengaminkan ketidakadilan semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H