The Kanak and Socialist National Liberation Front bersama Autority Bougainville Government (ABG) telah dipastikan menyelenggarakan penentuan nasib sendiri, alias referendum. Bougainville belum dipastikan kapan melaksanakannya. Sementara FLNKS dilaksanakan pada september 2014 ini. ABG akan menentukan nasib akan pisah dari negara Papua Nugini atau tidak. Begitu juga sosialis kanak di kaledonia baru yang memutuskan pisah dari negara perancis. Kedua negara (Perancis maupun PNG) telah menyetujui keinginan dimaksud. Tinggal pelaksanaan, dan hasil yang didapat.
Perlu diketahui, perjuangan menuntut referendum dari Papua Nugini ini, berbuntut pada gerakan penutupan tambang Amerika yang beroerasi disini. Pejuang setempat memilih mengusir aset asing dengan cita-cita menentukan nasib sendiri alias referendum. Dan akhirnya, pemerintah Nasional PNG telah memberikan rekomendasi untuk komite parlemen yang akan didirikan untuk memberikan pengawasan politik dan kepemimpinan dalam kaitannya dengan pelaksanaan referendum di Daerah Otonomi Bougainville. “Apa yang terjadi di Bougainville adalah tragedi kemanusiaan yang amat mengerikan,” kata Perdana Menteri Peter O’Neill dalam sebuah pernyataan kepada parlemen usai melakukan kunjungan bersejarah ke Bougainville yang dikutip tabloidjubi.com Rabu(19/2) dari Post Curier, media cetak terbesar di Papua New Guinea.
Sementara FLNKS, sejarahnya seperti dilansir wikipedia, awalnya terdiri dari Caledonian Union (UC) sebuah partai kiri-tengah yang multi-etnis. Didalamnya termasuk gerakan politik progresif yang diusung para pelajar etnis melanesia. Uni Etnis dalam partai perancis, mereka dari Polynesian dan Partai Pembebasan Kanak (Palika). Kanaky sebuah partai yang lebih radikal yang didirikan oleh para siswa berhaluan kiri yang datang kembali dari Perancis setelah kerusuhan Mei 1968 . Baik UC dan UNI adalah ukurannya sama. Namun, semua mendukung kemerdekaan Kaledonia Baru (KANAKY/FLNKS). Pada KTT-19 MSG di Keledonia, Presiden Perancis turut hadir dan didampingin Victor Tutugoro.
Sementara Scotlandia (Irlandia Utara), pernah diutarakan oleh parlemen inggris pada suatu debat terbuka dan telah memastikan referendum pada september 2014. Hal ini sudah diulas pada artikel sebelumnya, Anggota Parlemen Tinggi Inggris, dalam debat ini menyinggung referendum 2010 tentang penentuan nasib sendiri di Sudan Selatan dan referendum mendatang untuk kemerdekaan di Kaledonia Baru-Kanaky, Bougainville dan Skotlandia serta yang pernah terjadi di Timor Timur dan di Papua Barat pada tahun 1969 yang disebut Act of Free Choice.
Debat yang dilakukan seketika itu, parlemen Inggris mengusulkan pada pemerintahnya untuk mengundang Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono-SBY, mengunjungi Inggris guna menyaksikan Referendum yang akan dilakukan rakyat Skotlandia pada bulan September tahun depan. “Saya berharap Perdana Menteri mengundang Presiden SBY untuk mengunjungi Inggris pada bulan September tahun depan sehingga ia dapat melihat bagaimana kita berurusan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri di negeri ini.” kata Lord Avebury. Alhasil, SBY sudah kunjungi Ratu Elizabeth dan mendapatkan Nobel dari Henry Kissinger.
Apa yang bakal terjadi dari Papua dengan fenomena dunia yang telah dan akan menyaksikan tiga wilayah menyelenggarakan referendum. Sah-sah saja pemerintah Indonesia mengatakan bahwa mereka tengah menggodok otsus plus dan pemekaran (DOB) di sejumlah daerah Papua dan Papua Barat, tetapi, dunia juga saat ini melihat praktik pelanggaran hak asasi yang kurang kondusif di disini. Sudah ada laporan organisasi HAM asia bahwa ada pembantaian dilakukan militer Indonesia paska operasi militer digelar dengan didukung oleh Australia dan Amerika. Juga sidang umum PBB 2013 silam, Perdana menteri vanuatu minta misi khusus PBB ke Papua.
Menghadapi kenyataan demokratisasi di belahan dunia, pemerintah Indonesia pun melakukan segala upaya, demi membendung isu-isu papua maupun mengambil tempat di forum dunia. Terakhir adalah ikut mengkampanyekan perdamaian dari konflik laut cina selatan, walaupun disaat yang sama, tengah berseberangan dengan rivalnya AS yang juga Singapura dan Australi. Lalu, membuat kerjasama dengan negara-negara MSG yang sampai sekarang, belum jelas apa kerjasamanya. Hubungan regional pasifik meningkat pula seketika aplikasi WPNCL masuk kedalam melanesian raya. Status keanggotaan WPNCL kemudian dicecar dengan berbagai konfrontasi baik dari internal maupun Indonesia sendiri. Ketakutan yang luar biasa ini, tentunya bermuara pada "awas" jangan sampai Papua ikut menggenapi pada, empat negara yang bakal terbentuk, tiga diantaranya telah menunggu pelaksanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H