Mohon tunggu...
Arkilaus Baho
Arkilaus Baho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Duluan ada manusia daripada agama. Dalam kajian teori alam, bahwa alam semesta ini usianya 14.000 juta tahun, baru setelah 10.000 juta tahun kemudian terdapat kehidupan di bumi ini. Manusia jenis Homo Sapiens baru ada 2 juta tahun yang lalu, sedangkan keberadaan agama malah lebih muda dari kemunculan agama yaitu 5 ribu tahun lalu. B.J Habibi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inilah Kepunahan Papua Pasca 51th Integrasi

30 April 2014   07:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:02 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi peringati 51 Tahun integrasi Papua kedalam NKRI. Gejolak sosial, ekonomi, politik dan hak asasi manusia masih rangking teratas di Papua. Banyak juga negara RI mengeluarkan kebijakan. Produk sosial dan politik terus di suplay dengan tujuan agar negeri ini menerima Indonesia sebagai tempat yang nyaman dan adil. Sembari, negeri ini juga kaya raya, sehingga betapa ruginya NKRI kalau saja lepaskan Papua.

Menjaga amanat pejuang dahulukala, dengan menghibur orang Papua melalui segala kebijakannya, belumlah dianggap sebagai solusi, sebab Manusia punya rasa, karsa dan perlu perubahan.

Apa saja catatan pahit semenjak Papua di Integrasikan pada 1 Mei 1961, 51 tahun berlalu, mari kita simak keberangusan bumi ini atasnama negara yang terdiri dari Pancasila dan UUD 1945.

Pertama, 2 juta hektar tanah yang didalamnya terdapat gunung, sungai, pohon sagu, ikan dan tumbuhan lainnya, punah akibat limbah bebatuan industri paska perjanjanjian karya Freeport dengan Pemerintah Indonesia dibawah rezim Suharto.

Kedua, grub musik Black Brothers sebelum integrasi, dikenal hingga benua Eropa, Jogjakarta, Palembang, Malang dan wilayah Pasifik. Setelah integrasi, personil grub musik ini dikejar, dibunuh dan melarikan diri, sampai sekarang hanya tinggal nama. Begitu juga tokoh antropologi Papua-Arnoldus C. AP, semasa belum integrasi, bebas mengumandangkan budaya suku-suku Papua dalam bentuk lagu, setelah integrasi, dikejar dan dibunuh pemerintah Indonesia.

Ketiga, orang-orang Amungme/Kamoro di seputaran Mimika mengalami kepunahan dan terdegradasi dari alam lingkungan mereka. Ratusan tewas akibat kebengisan pemerintah RI pertahankan freeport, suku ini sampai sekarang hidupnya selalu dihantui dengan perang saudara, dan inilah yang terjadi dalam nuansa NKRI.

Keempat, 4.000 ribu penduduk sipil Papua yang berada di pegunungan tengah dibantai melalui sebuah operasi militer NKRI yang bertujuan mengamankan proyek investasi modal kakap dari Amerika Serikat. Tercatat juga peristiwa Biak Berdarah, Wamena berdarah, Wasior, Kampung Baru Sorong, dan sejumlah pelanggaran HAM paska penculikan dan pembunuhan Theys Eluay. Komnas HAM NKRI mencatat penyiksaan dan pembunuhan di Papua jadi rangking teratas.

Kelima, ratusan ribu hektar tanah ulayat/adat di Keerom, Nabire (Suku Yerisiam), Mamberamo Raya, Pegunungan Bintang, Soroang dan daerah lainnya, di ambil paksa oleh TNI/ABRI dengan stigmatisasi membasmi basis OPM, padahal, TNI memakai lahan ini untuk bisnis mereka, berupa kelapa sawit, ilegal loging dan satwa liar lainnya.

Keenam, semenjak integrasi pula, catatan medis tentang HIV/AIDS, Papua memiliki ranking tak pernah dibawah.

Ketujuh, tuntutan dialog/perundingan atau apa saja yang disuarakan rakyat Papua, dihabisi dengan kebijakan birokrasi berupa paket UU, peningkatan uang otsus, pemekaran daerah, operasi dingin militer, dan propaganda menolak tawaran dari Papua untuk duduk bicara. Prospek masa depan Papua semakin suram, karena kebijakan politis yang diperlukan akan kembali menata Papua, diabaikan begitu saja. Satu fakta bahwa, pemerintah tak menganggap Papua bukan warga negara sehingga suaranya diabaikan.

Kedelapan, penduduk lokal Papua sebelum integrasi berjumlah 700 ribu jiwa, setelah integrasi, dari 6 juta penduduk wilayah ini, 4 juta adalah pendatang.

Kesembilan, sebelum integrasi, wilayah administratif hanya dikenal di Sorong, Fak-fak, Jayapura, dan Merauke, setelah integrasi, ada wilayah administratif bernama kabupaten yang jumlah penduduknya hanya 300 jiwa. Pemekaran daerah bagaikan musim panen buah matoa.

Kesepuluh, semenjak pertambangan freeport beroperasi, Papua tak pernah mendapatkan 50 persen hasil tambang disini, dan inilah yang terjadi paska integrasi.

Kesebelas, intergasi Papua bukanlah pilihan demokratis rakyat Papua, tetapi konspirasi Belanda-AS dengan Indonesia semata, jadilah konsensi politik sepihak diteken. Mentahnya dilanjutkan lagi pada konspirasi berikutnya bernama PEPERA, namun, lagi-lagi malah pembodohan demokrasi diperagakan di kasus ini. One man one vote di akali sehingga metode perwakilan dipakai, tak lama semenjak PEPERA, metode perwakilan itu diganti dengan one man one vote dalam praktik pemilu indonesia.

11 item diatas sebagai gambaran dan masih ada masalah lainya yang belum sempat penulis tulis disini. Sebuah layar betapa habisnya bumi Papua Barat, semenjak dicaplok hingga menuai kepunahan akut yang walaupun sekarang hendak di obati dengan gula-gula politis dari Jakarta, tak akan mampu membersihkan segalanya.

Tak satupun agenda penyelesaian masalah Papua menjadi topik kampanye para capres yang saat ini nongol di publik. Lebih banyak elit politik ini bersama pendukungnya sikut menyikut sana sini, buat kamuflase berupa kampanye hitam satu ke lainnya. Antek-antek capres pun kurang peka terhadap masalah bangsa, hanya taunya si dia harus presiden, tidak tau setelah jadi presiden mau bikin apa. Apalagi dengan segudang luka Papua yang ditulis diatas, apakah diatasi dengan bim sala bim alias mantra sulap para presiden?

Apalagi kebijakan negara yang hanya tambal sulam, pemadam kebakaran dan lebih parah lagi, Papua hendak diatur-atur oleh sebuah negara boneka AS bernama RI, sungguh aneh!

NB: Papua adalah penduduk bagian barat pulau berbentuk burung cenderawasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun