[caption id="attachment_324777" align="aligncenter" width="400" caption="Natalsen Basna (tengah) LITP Pada suatu kesempatan di Papua"][/caption]
Koncoisme sudah bukan jamannya lagi di era sekarang. Era dimana keterbukaan, transparansi dan profesionlisme layanan publik wajib diterapkan. Pola dan prilaku pejabat daerah yang dengan kekuasaan penuh dengan cara menanamkan benih kekuasaan semata bagi saudara dan kerabat, kembali terpraktikkan di wilayah administratif kota Sorong. Hal itu bagi generasi intelektual Tanah Papua, merupakan bahaya laten yang perlu di dkritisi serius.
Ketua Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP), Dr. Natalsen Basna, mengatakan masyarakat Kota Sorong haus akan keadilan yang hakiki. Dalam struktur masyarakat yang heterogen, pemerataan kekuasan politik dan pelayanan birokrasi merupakan hal terpenting yang harus dilaksanakan penuh oleh semua pihak. Sistem penerimaan, penempatan, mutasi PNS berbasis kinerja dan lelang jabatan, sebagai contoh, merupakan perwujudan ideal harapan politik masyarakat akan birokrasi yang profesional tanpa mempraktekkan ideologi berbasis keluarga dan kampungnisme. Idelogi yang tidak berkeadilan seperti ini seharusnya ditempatkan selamanya di masa kegelapan orde baru, ungkapnya.
Lulusan dari UGM itu bilang, dalam orde reformasi, idelogi berbasis keluarga dan kampungnisme menjadi momok yang memalukan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bau busuk praktek nepotisme rupanya berjalan manis diterapkan di Kota Sorong. Aroma ini masih terus terdengar dan menyebar kemana-kemana, bahkanke seluruh pelosok Sorong Raya, Tanah Papua maupun Indonesia. Lebih lanjut, nepotisme dalam jajaran birokrasi dan legislatif baru-baru ini bahkan berujung pada foya-foya anggaran negara dalam acara pelantikan Walikota Sorong yang mencapai miliaran rupiah. Langkah awal pelantikan saja sudah terjadi pemborosan anggaran negara, bagaimana dengan langkah kebijakan publik selanjutnya? Kebijakan foya-foya anggaran negara merupakan bukti otentik persekongkolan eksekutif dan legislatif di Kota Sorong. Kebijakan tersebut sangat berbanding terbalik dengan situasi pelantikan walikota di kota lain yang dilaksanakan di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) dan dihadiri oleh masyarakat setempat dengan hanya menghabiskan biaya belasan juta saja. Mengapa kita masih mengusung ideologi yang lama?
Natalsen memandang bahwa Isu nepotisme yang bertali-temali dan kong-kalingkong dalam pelantikan pimpinan DPRD Kota Sorong yang baru lalu kembali mencuat dan disinyalir akan melumpuhkan etika birokrasi dan fungsi legislatif dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif akan hilang berganti dengan negosiasi berbungkus kekeluargaan semu. Dan jika hal akan berlangsung, apakah masih dibutuhkan pertanggungjawaban tahunan eksekutif terhadap legislatif? Jikalau tidak ada pertanggungjawaban, apakah masih membutuhkan suara rakyat dalam pemilu selanjutnya?
Nabas (Natalsen Basna), seorang intelektual muda asal Tanah Papua beri solusi. Menurutnya, seperti yang muat pada radar sorong (20 September 2014), sudah sepatutnya kita semua (siapa saja yang berpeluang memimpin-pen) kembali ke amanat UU Nomor 27 tahun 2009 tetang susunan dan kedudukan DPRD yang memuat fungsi ideal legislatif. Legislatif sebagai perwakilan rakyat idealnya memiliki kekuasaan mandiri yang tidak dapat dipengaruhi oleh pihak eksekutif. Jangan salahkan masyarakat kota Sorong yang diam manakala semua kebijakan eksekutif dan legislatif akan mati suri dan tidak bermakna. Sudah seharusnya tokoh-tokoh eksekutif dan legislatif memperlihatkan suri tauladan dan kedewasaan dalam berpolitik yang menjadi panutan bagi seluruh masyarakatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H