Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Spiritualitas Menggilas Peradaban Blambangan

3 Oktober 2016   13:26 Diperbarui: 3 Oktober 2016   13:44 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengantar

Berbicara tentang kasus objek yang diduga Cagar Budaya (ODCB) di sejumlah daerah tidak ada habisnya. Setiap bulan hampir dipastikan selalu ada objek yang rusak atau pun musnah, faktor penyebabnya hanya ada dua yakni manusia dan alam. Tetapi, apabila melihat dinamika yang terjadi selama ini faktor manusialah yang paling mendominasi.

Entah mengapa kasus-kasus semacam itu semakin masif terjadi. Apakah memang benar, masyarakat sekarang sudah tidak ingat lagi dari mana mereka berasal? Anggap saja benar! Sehingga mereka lupa dengan leluhurnya dan semua karya monumental yang sengaja ditinggalkan untuk kelangsungan hidup anak dan cucu di kemudian hari. Zaman memang sudah berubah secara drastis. Tampuk pemerintahan berulang kali berganti setiap lima tahun sekali. Tidak hanya itu, sistem pemerintahan pun juga demikian.

Ketika sejumlah karya monumental itu didirikan, Indonesia masih menggunakan sistem pemerintahan kerajaan dan kolonial. Membangun sebuah candi contohnya, di sana pasti ada iuran yang tidak hanya uang tetapi juga semangat dan keringat. Masyarakat Jawa Kuna dulu memang sederhana –orang sekarang bilangnya ndhèsit atau udik­– tetapi di balik ke-ndhèsitan tersebut ada pola pikir yang sudah maju. Orang sekarang mengatakan zaman dulu itu udik, ndhèsit, kuno, dan sebagainya semata-mata hanya karena mereka sudah merasa hidup di zaman yang serba berteknologi tinggi. Padahal tanpa itu semua, kita tidak ada apa-apanya.

Setiap kali ada kasus ODCB dan/atau pengerusakan Cagar Budaya saya sebal. Bagaimana tidak, katanya kita sudah modern bahkan post modern tapi disuruh menjaga warisan budaya yang bersifat monumental saja tidak becus. Belajar dari peristiwa yang menyebalkan tersebut, bukankah pola pikir dan sikap sadar berwarisan budaya orang sekarang telah mundur jauh ke belakang?.

Penjara Definisi

Dilihat dari segi aturan, sebenarnya aturan yang berkaitan dengan kecagarbudayaan di Indonesia sudah cukup. Tahun 2010 yang lalu pemerintah telah mengesahkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Undang-undang ini dibuat untuk menggantikan UU No. 5 Tahun 1992 yang katanya sudah tidak memadai lagi.

Sekilas memang aturan perundang-undangan yang disahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono tersebut sudah sempurna dan siap untuk dijadikan pegangan dalam mengelola semua bentuk tinggalan budaya berbenda yang ada. Tapi nanti dulu, ternyata usut punya usut peraturan pemerintah untuk menjalankan UU No. 11 Tahun 2010 belum ditandatangani. Sehingga pantas saja, apabila salah satu berita online pada Februari 2012 yang lalu mengatakan bahwa “Undang-undang Cagar Budaya masih mandul”.

Saya dalam tulisan ringan ini tidak akan menyinggung tentang peraturan pemerintah itu lebih jauh, melainkan definisi Cagar Budaya yang menjadi unsur tak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Dalam undang-undang terbaru dikatakan, yang dimaksud Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Sebenarnya definisi ini menurut saya problematis, sebab apabila diperhatikan  memang definisi Cagar Budaya tersebut biasa-biasa saja, tetapi di dalamnya ternyata ada pĕnjĕlimĕtanprosedur yang dalam praktiknya sering menjadi kendala ketimbang menjadi solusi. Ya, menurut undang-undang semua unsur Cagar Budaya wajib dilindungi namun harus melalui proses penetapan.

Sehingga apabila tidak hati-hati, baik pemerintah, pemerintah daerah, tim ahli Cagar Budaya hingga rakyat pun dapat terpenjara oleh definisi ini. Benarkah definisi Cagar Budaya serumit itu? Apabila melihat kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud Cagar Budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan. Berdasarkan definisi yang bersumber dari KBBI, Cagar Budaya itu wajib dilindungi dari kepunahan meskipun belum ada penetapan. Di dalam definisi tersebut hanya dikatakan, kelestarian hidup dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun