Kategorisasi perempuan dalam tiap kebudayaan selalu dikaitkan pada atribut-atribut tentang motherhood seperti kesuburan, keibuan, dan pemberi kehidupan. Kategori tersebut telah menciptakan stigma bahwa menjadi perempuan bukanlah suatu keajegan melainkan suatu “proses menjadi” yang tidak pernah selesai. Sejarah telah mencatat beberapa figur perempuan Jawa yang sangat konsisten dalam memegang prinsip. Bagaimanapun keadaannya, mereka setiap saat memiliki semangat untuk belajar menempa diri agar dirinya dapat bertahan di tengah tatanan sosial yang mulai goyah.
Selama memerintah Kerajaan Kadiri, Śrī Mahārāja Rake Halu Śrī Lokeśwara Dharmmawangśa Airlanggānantawikramotunggadewa telah mengeluarkan sebanyak 33 prasasti, dan ada beberapa yang memuat tentang sosok Rakryān Mahamāmantri i Hino Śri Sanggrāmawijayā Dharmaprasadottunggadewi. Dia merupakan anak perempuan tertua Airlangga yang sedianya akan menggantikannya sebagai raja Kadiri.
Namun, Sanggrāmawijayā sekitar tahun 959 Śaka telah melepaskan haknya sebagai putri mahkota, dan tahun 964 Śaka Airlangga menempatkannya di dalam dharma gandhakutidi Kambang Srī. Dia merasa bahwa ketenangan hidup di dalam pertapaan lebih berharga dari kemewahan duniawi.
Sementara itu, Babad Tanah Jawi mengungkap tentang keteguhan Ratu Kali Nyamat dalam memegang prinsip. Dia melakukan gugat batin kepada Hyang Maha Kuasa agar Penangsang segera mendapatkan hukum karma. Begitu pula dengan diri seorang Drupadi yang pernah dipermalukan di depan umum oleh Dursasana. Apa yang ditunjukkan oleh ketiga tokoh tersebut adalah sebuah contoh, betapa seorang perempuan harus sedapat mungkin berpegang pada sesuatu yang luhur, suci, dan penuh dengan keperwiraan agar dirinya tetap agung di dalam masyarakat.
Perempuan sebenarnya sangat cerdik dalam menata strategi dan seketika dapat menjadi jantan. Mereka tahu bahwa tidak mungkin mempertahankan feminitasnya di tengah-tengah stigma sosial yang sangat menyakitkan untuk didengar. Perasaan sakit hati dan ketertindasan membuat perempuan berani untuk melakukan pemberontakan atas oposisi biner yang selama ini diagung-agungkan kaum patriarkat. Laki-laki dianggap lebih segalanya dari perempuan. “Wahai, engkau yang membelaiku bagaikan dihanyutkan oleh kecantikan sang putri istana ini. Yang dimabuk asmara bagaikan burung kedasih kegirangan melihat paras yang bagaikan bulan purnama......(1) Mundurlah, jangan mendekat!....(2) Demikian kata sang putri. Dia mengangis, berkesah dan hampir saja pingsan,.... Menyikuti tangan sang pangeran.....(4)” (Sutasoma pupuh LXXXIII).
Suka atau tidak, feminisme merupakan sebuah wacana teoretis-filosofis yang hadir dengan daya pikat yang kuat dan memang penting untuk dipersoalkan. Feminisme tidak perlu ditakuti karena keberadaannya tidak lain adalah gerakan kemanusiaan. Untuk itu, diperlukan sebuah kesadaran yang tinggi tidak hanya dari pihak perempuan sendiri, tetapi juga dari pihak laki-laki.
Prinsip batin yang ditunjukkan oleh Sanggrāmawijayā, Kalinyamat, dan Drupadi sebenarnya hanya untuk satu tujuan, mereka ingin menyuarakan bahwa perempuan juga memiliki peran yang sangat berarti di dalam masyarakat. Hal ini harus diingat agar perempuan tidak selalu tersingkir dalam setiap pembicaraan, kegiatan, aktivitas, dan kehidupan. Feminisme tidak semata-mata pembicaraan pelengkap, tetapi juga harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat.
Prinsip batin yang disuarakan oleh perempuan-perempuan kuno itu, sekarang menjelma menjadi konsep Women in Development dan Gender and Development. Masyarakat modern mengakui bahwa perempuan merupakan bagian yang integral dalam sistem sosial. Justru perempuanlah yang lebih concern terhadap persoalan-persoalan lingkungan tetapi luput dari perhatian.
Disadari atau tidak, perempuan memang salah satu unsur terpenting dalam pelestarian sumberdaya lingkungan yang terlupakan. Hubungan antara perempuan dengan alam bukan merupakan hubungan dominasi, tetapi lebih kepada hubungan kooperatif yang saling nguripi. Sampai sekarang, masyarakat Using di Banyuwangi masih melaksanakan tradisi Kebo-keboan yang menempatkan perempuan (Dewi Sri) sebagai titik sentral dalam upacara.
Selain masyarakat Using, di Banyuwangi juga terdapat masyarakat Mataraman (wong Mĕntaram) yang merupakan orang-orang keturunan Jawa-Hindu yang tersebar di Kecamatan Gambiran, Cluring, Pesanggaran, Siliragung, Bangorejo, Purwoharjo, Tegaldlimo, dan Tegalsari. Mereka juga sampai saat ini masih melaksanakan Upacara Mĕthik sebagai ungkapan rasa syukur akan kesuburan yang diberikan oleh Hyang Widhi.
Perempuan masa Mataram (Kuna) sudah terlibat dalam kegiatan keduanya, seperti yang disebutkan dalam prasasti Wulig (935 M): Rakai Mangibil, selir Pu Sindok meresmikan tiga bendungan di Desa Kahulunan, Desa Wuatan Wulas, dan Desa Wuatan. Berdasarkan uraian prasasti terebut, tampak adanya sebuah percakapan batin yang demokratis antara perempuan dengan alam sehingga diskursus pun berhasil diciptakan. Diskursus itu dapat terbangun setelah perempuan dapat menaruh keakuannya dalam relasi yang setara dengan alam.