Saya sering mendapat pertanyaan dari kawan-kawan muda, seperti kemarin ketika berdiskusi di grup Whatsapp ada kawan yang bertanya tentang upacara yadnya atau pacaruan haruskah mengorbankan hewan?
Berkaitan dengan hal tersebut sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Hariani Santiko dengan judul "Puja Caru Pada Masa Jawa Kuna". Berdasarkan data prasasti masa Jawa Kuna persembahan caru atau puja caru pada umumnya dikaitkan dengan upacara pendirian sebuah sima (tanah perdikan), yaitu pada bagian upacara sapatha, pada upacara pemujaan dewa di sebuah bangunan suci, dan/atau di sebuah lapangan yang dipakai melakukan upacara sapatha tersebut. Sapatha berarti "kutukan", disini terkait dengan upacara sumpah kutukan bagi yang melanggar ketentuan sebuah prasasti tentang keputusan raja/pejabat tentang pendirian daerah perdikan (sima). Sapatha ini biasanya terdapat di bagian penutup prasasti.Â
Media sesaji caru pada zaman dulu sangat beragam, yaitu berupa persajian nasi terdapat datanya pada prasati di Jawa seperti prasasti Lintakan, sebuah prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh raja Tulodong tahun 841 Saka (919 Masehi); persajian susu terdapat dalam prasasti Trailoyapri (Jiu) II yang berasal dari zaman akhir Majapahit, tahun 1408 Saka (1486 Masehi), dan dikeluarkan oleh raja Sri Girindrawarddhana dyah Ranawijaya.Â
Hariani Santiko juga mengatakan, setelah nasi yang matang selanjutnya diberi kelengkapan yang terpenting adalah bunga, dupa wangi, bijen (hitam), kayu cendana, dan berbagai jenis lainnya tergantung kemauan si pelaku caru. Persembahan caru berupa darah binatang baru muncul dalam naskah yang bersifat Tantris, baik yang bersifat Buddha Tantrayana atau Vajrayana maupun Hindu Tantra seperti kakawin Arjunawijaya dan Sutasoma.
Jadi, sebenarnya korban hewan dalam pelaksanaan Pacaruan itu tidak diharuskan karena dapat digantikan dengan nasi, susu, dan biji-bijian. Namun, setelah mendapat pemaparan seperti itu kawan saya tersebut menyanggah dengan mengatakan, Mas Jingga, bacaan itu sebuah reverensi, benar dan tidaknya itu tergantung Anda (yang membaca). Yang saya tanya pendapat Anda selaku generasi Hindu bukan pendapat penelitian skripsi yang sehari jadi.Â
Duh Biyung, kok jadi ribet ya? Ok, saya berpendapat tapi kalau tidak berpijak pada kajian ilmiah atau data arkeologi yang sahih apakah namanya tidak ngawur? Akhirnya, saya menjawab tanggapan tersebut begini, saya hanya urun rembuk. Diterima atau tidak tergantung dari forum ini. Yang jelas, saya sebagai arkeolog tidak berani berkomentar jika tidak ada data konkret di lapangan. Toh, meski kami mengkaji juga berpijak pada fakta kebiasaan zaman dulu dan tidak asal ngomong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H