Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dengan (Perempuan) Jawa?

28 September 2016   14:49 Diperbarui: 28 September 2016   15:08 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses Jawanisasi

Ketika seseorang melangkah menuju dunia baru bernama pernikahan, sebagian hidupnya pasti tidak seutuh dulu lagi. Perubahan pola hidup dan pola pikir pasti terjadi. Perubahan kerap membuat kita ketakutan. Sebab, ia akan membawa kita meninggalkan zona nyaman untuk masuk ke dalam kawasan baru yang sering tidak kita ketahui sama sekali. Ada apa di sana? Apakah kita akan menjadi lebih baik, atau malah lebih buruk?.

Betul, sebagian orang pasti akan bertanya-tanya seperti itu ketika akan melangkah ke jenjang pernikahan. Namun sebuah pernikahan mustahil untuk tidak dilalui oleh seseorang karena hal itu merupakan sebuah kepastian hidup. Sama halnya dengan budaya. Sebelum budaya India masuk ke Nusantara, sebenarnya orang Jawa sudah memiliki landasan budaya yang kuat.

Ketika budaya India masuk ke dalam masyarakat Jawa maka kebudayaan meningkat, pengetahuan tentang aksara mulai dikenal sehingga banyak ditemukan sumber tertulis. Prasasti merupakan sumber tertulis yang paling banyak membantu dalam penyusunan sejarah selain sumber tertulis berupa kitab menceritakan sejarah.

Berdasarkan data prasasti yang ada, dulu masyarakat Jawa tidak serta-merta menerima budaya India begitu saja. Hal ini dapat dilihat contohnya dari aspek jumlah prasasti yang berbahasa Jawa Kuna lebih banyak dibandingkan dengan prasasti berbahasa Sanskerta.

Ya, pada waktu itu kebudayaan Hindu yang berasal dari India harus mengalami proses adaptasi dengan kebudayaan setempat (Jawa). Selain dari aspek tertulis, bentuk adaptasi tersebut dapat dilihat dari seni pahat atau sering disebut relief yang ada di candi-candi. Relief cerita yang ada di candi pada umumnya didasarkan pada cerita Ramayana dam Mahabharata. Namun, ada pula relief cerita yang didasarkan pada kisah lokal, contohnya Sri Tanjung.

Pada setiap suku bangsa di Indonesia ini pada dasarnya terdapat kekhasan budaya yang dapat dilihat pada bahasa beserta ungkapan sastra mereka, serta pada berbagai wujud ekspresi seni khas mereka, baik yang berupa seni tari, seni musik, maupun seni rupa.

Di dasar ungkapan-ungkapan seni yang beraneka ragam ini terdapat kaidah-kaidah keindahan yang khas pula. Dengan kata lain tata nilai orang Jawa sebenarnya sudah mapan dan selalu identik dengan kata achievement (pencapaian), disiplin tinggi, dan penegakkan kehormatan. Namun, itu semua tidak dapat menjadi aktual apabila tidak didahului dengan upaya nyata untuk saling diperkenalkan dengan ekspose contoh-contoh nyata.

Perempuan Jawa

Ada apa dengan budaya Jawa?, mungkin pertanyaan ini sudah lama terpatri di hati masing-masing individu ketika menyaksikan sebuah fakta, bahwa ada anak muda yang masih gagap mengenakan bĕskap, selalu dicemooh orangtua ketika berusaha belajar mengenakan blangkon, kebaya dan selendang. Lantas mengapa sekarang orang Jawa menertawakan budayanya sendiri?. Kini yang perlu kita cermati bersama ketika "keterasingan" itu terus berlanjut, sebenarnya apa kiranya kontribusi kebudayaan Jawa oleh orang Jawa kepada kebersamaan kebangsaan baru yang bernama Indonesia ini.

Sekarang banyak orang pintar. Banyak orang cerdas. Banyak bacaan telah tuntas mereka terjemahkan. Mereka sudah menerjemahkan apapun dari luar dirinya. Namun sayangnya, mereka justru kesulitan menerjemahkan dirinya sendiri bahwa “Aku orang Jawa”. Orang Jawa yang tidak menggunakan tata cara Jawa seperti orang pinjam baju.

Sudah sejak lama perempuan Jawa selalu diidentikkan dengan kanca wingking dan tidak ada yang membantah anggapan tersebut. Benarkah perempuan Jawa memang demikian? Selain itu, akhir-akhir ini muncul sebuah kerisauan masyarakat tentang baju yang dikenakan mereka ketika memasuki tempat suci. 

Persoalan ini beberapa kali dikemukakan dalam dharma wacana. Apabila merujuk pada sejarah, berita China dari Dinasti Sung (960 M-1279 M) pernah menyebutkan bahwa perempuan Jawa dalam kesehariannya membiarkan rambutnya terurai dan memakai kain yang menutupi dada sampai ke bawah lutut.

Selain berita China, penggambaran tersebut juga dapat dilihat di relief candi. Relief sebagai media intepretasi visual kesenian, tentunya tidak terlepas dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Aspek kesenian seperti drama, tari, dan kesusastraan diterjemahkan ke dalam pahatan relief yang berbeda-beda, dan membentuk suatu rangkaian cerita; contohnya relief Sri Tanjung di Palah (Panataran). Relief tersebut terletak pada pendapa teras kedua dan berjumlah 9 panil.

Seperti foto di atas, digambarkan dua orang perempuan. Perempuan (a) berdiri dan kedua tangan dikatupkan seperti sedang menyembah. Rambutnya digelung ke belakang. Ia memakai kain panjang dari dada hingga mata kaki yang kemudian ujung dari kain itu disampirkan ke punggungnya seperti mengenakan selendang. 

Ia juga memakai kalung di lehernya serta gelang pada kedua pergelangan tangannya. Perempuan (b) berdiri dan kepalanya menoleh ke belakang. Rambutnya terurai. Ia tampak sedang mengikat kain panjang semata kaki yang ia gunakan. Tokoh ini mengenakan kalung di lehernya serta gelang pada kedua pergelangan tangannya.

Berdasarkan bukti artefak tersebut dapat diketahui bahwa secara umum perempuan Jawa memiliki ciri-ciri penggambaran wajah lebih feminin atau halus, dada digambarkan menonjol, tubuhnya cenderung banyak lekukan, dan mengenakan penutup dada. Sehingga terlihat lucu dan konyol kalau masih ada orang yang terkejut melihat perempuan memakai kěmběn/jarikyang secara otomatis memperlihatkan lekuk tubuh, pundak, dan lengannya. Orang Jawa yang mengenakan pakaian yang demikian sampai sekarang juga masih ada, meskipun secara insidental dan sporadis.

Sebenarnya tidak ada yang perlu dirisaukan, kenapa perempuan Jawa selalu pinjungan kěmběn, berkebaya, atau jarikan dalam kesehariannya? Pemakaian kěmběn atau jarik bagi perempuan Jawa bermaksud untuk membentuk pemakainya menjadi lembut dan berhati-hati dalam bergerak. Jarik atau kěmběn yang cenderung dikenakan secara ketat, tak hanya menciptakan siluet tubuh namun juga membentuk sikap pemakainya lebih lembut, sabar, berhati-hati, dan luwěs.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Keseluruhan nilai-nilai budaya masa lampau di atas seyogyanya menjadi bagian karakter generasi muda Hindu di manapun dan kapanpun! Proses belajar mengenal kembali budaya Jawa sangatlah mendasar dan seharusnya menjadi misi besar kaum muda untuk menciptakan negara dan bangsa yang kuat, yang berlandaskan karakter kenusantaraan.

Di sinilah pentingnya pembangunan dan penguatan kepribadian agar tidak terlindas arus globalisasi, tetapi dengan cerdik menyaring dan mengolahnya untuk kemajuan budaya sendiri tanpa kehilangan kejawaanmu. Belajar dari masa lampau untuk menumbuhkan kembali karakter orang Jawa yang sebenarnya menjadi poin penting ketika pakaian peremuan mulai dipersoalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun