Hidup itu sebuah misteri namun penuh dengan keniscayaan.
Sebaris kalimat di atas merupakan kutipan bijak dari seorang filsuf asal Brebes dalam buku diarinya yang berjudul 'Life is beautiful'. Kebetulan buku diarinya tidak diterbitkan, hanya untuk konsumsi sendiri aja, dan aku termasuk orang yang beruntung karena mendapatkan petuah tersebut ketika aku membeli telor asin di tokonya. Sepulang dari membeli telor asin di jalan aku masih saja terngiang petuah bijak bestari nan sarat makna dalam tersebut, memori di otakku yang lebih dari 1TB karena tanpa memori eksternal pun kembali memutar kisah kisah dalam kehidupanku di masa silam. Sejenak aku terdiam lalu duduk menjelepok di emperan SPBU yang siang itu terlihat ramai oleh antrian mobil dan juga sepeda motor. Bahkan sudut mata kananku tak sengaja melihat seorang pejalan kaki ikut ngantri di SPBU. Apa gerangan yang terjadi, apakah orang yang ikutan ngantri dengan berjalan kaki itu sesosok Cyborg? Sehingga ia membutuhkan BBM untuk menjalankan operating system dalam dirinya..., ah ternyata aku yang pekok, orang itu ternyata membawa jirigen. Melihat ciri cirinya sepertinya yang bersangkutan penjual bensin eceran. Halah, malah ngaco kemana mana.
Memang hidup itu sebuah misteri, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik kedepannya. Kecuali sutradara film atau sinetron, mereka sudah pasti tahu ending dari apa yang dikarang olehnya. Tapi dalam sebuah misteri selalu ada keniscayaan, dan aku sangat mempercayainya. Itu pula kenapa aku selalu enjoy menjalani hidup, karena bagiku hidup adalah sebuah seni yang indah. Berhutang adalah bagian dari seni hidup itu sendiri, seni petak umpet sama tukang tagih, wekekekek.
Tentang cerita cinta, pasang surut dalam menjalani sebuah hubungan. Suka, duka, pertengkaran singkat, perselingkuhan kata melalui pesan maya seakan melengkapi hidup yang makin kekinian makin membuat lalai beberapa insan. Lalai bahwasannya tidak selamanya yang terlihat indah itu layak untuk dinikmati, bahwa tak selalu yang nampak baik untuk dibagi. Sebuah renungan kecil di dalam gelap, ditemani secangkir kopi pahit dan nyala redup pelita lampu minyak bisa sedikit membantu menemukan apa sebenarnya yang kita cari.
Sebagai manusia yang jauh dari kata sempurna, jauh dari kebaikan dan masih alpa memelihara dendam serta kebencian kepada sesama aku harus bertafakur dengan apa yang telah kejadian. Mendiamkan diri, berdamai dengan hari kemarin, berjabat tangan dengan masa silam. Mencoba membiarkan penilaian manusia lain terhadap diri yang sudah banyak berkubang lumpur berteman durjana. Karena sejatinya semakin orang tidak tahu siapa kita maka akan semakin membenci apapun yang berhubungan dengan diri kita. Lalu untuk apa kita harus membantahnya? Biarkan kebaikan menemukan isinya, biarkan kulit busuk itu terkelupas dan mengering lalu hilang dimakan pergantian hari.
Demikianlah ceramah sabtu kelabu, apabila ada kesamaan merk sempak atau kata yang menyinggung, harap inbok ke penulisnya atau kalo perlu bikin grup inbok untuk ngata ngatain yang nulis. Sepuasnya, gratis kok, and I don't give a shit. Hanya satu yang kupercaya, semua pasti akan cie cie pada waktunya. Silahkan meneruskan pandangan miringmu sendiri sendiri, tapi dosa jangan dibag bagi.
Salam kereria...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H