Indonesia lagi ramai perbincangan tentang sesuatu kebijakan yang diluar kenalaran, banyak orang kecewa dengan ragam gagasan dan pemikiran yang terjadi dalam ruang lingkup kekuasaan, berat memang hirup pikuk senayan menjadi godaan, siapa tahan dengan ragam benefit yang kan didapatkan.
Kini semua berteriak melalui sosial media, berharap di dengar dengan mencoba turun ke jalan, walaupun nyatanya dibungkam perlahan, lantas saya memilih diam. Bukan karena tak mau bersuara, melainkan sudah cukup menyuarakan, tak pelak hati sakit tak karuan, melihat ibu pertiwi menahan sendu akan ramainya pengkhianatan.
Muda-mudi mulai beraksi, merasa masih mampu merubah negeri, padahal dari sisi sini kita tahu, sudah tak ada harapan apabila terlalu menggebu, diawal api terus berkobar saat naik tahta api itu padam termakan kepentingan, yang selalu menggiurkan, sudah dibilang berkali-kali bahwa politik tak ada kawan dan lawan, hanya ada kepentingan, dimana kebijakan akan mudah terjadi apabila satu suara, dan satu kepentingan, apabila ada oposisi yang berbeda kepentingan bukan lantas berarti tak satu tujuan, melainkan hanya berbeda angan dan harapan.
Apa yang kita harapkan dari wakil rakyat? Yang memang tak pernah merakyat, apa yang akan kamu harapkan dari kumpulan orang tua dewasa yang tak mau dewasa, masih seolah berbagi kue dan berebut minuman soda kemasan, layaknya anak kecil yang ada di taman kanak-kanak. Akan merengek apabila permennya kita ambil, lantas bagaimana cara melawan? Apabila tak ada desakan dari segala pihak?
Maka lawanlah dengan hal baru, bukan lagi nyatakan #MosiTidakPercaya melainkan, nyatakan bahwa kalian cukup untuk tidak lagi percaya pada partai politik, cukup tidak lagi ikut haru biru politik praktis, yang akhirnya begitu miris.
Memang, sendu apabila dilukis tak lagi ada harapan tertulis, karena kini politik sudah jauh terukir manis. Legislatif, Eksekutif tak lagi beda, bahkan Yudikatif kadang pun sama. Lantas harus percaya kepada siapa, saat Presidennya tak bisa berbuat apa-apa, didorong kepentingan partai yang mendukung, diterpa isu badai yang tak kunjung surut. Presiden hanya bisa diam, seolah ingin berteriak namun terbungkam oleh ragam kebijakan bawahan, yang membuat carut marut kabinet yang katanya beragam.
Jadi, saya memilih diam bukan karena tak mau bereaksi, hanya saja. Sudah lelah melihat semua yang terjadi, bahwa memang lahir di negeri tercinta ini penuh misteri, ragam suku budaya yang harusnya akur, ragam sumber daya yang harusnya terukur, kini hancur. Apalagi yang harus dicari, negeri ini punya semua, sayangnya bukan kita yang menikmatinya. Negeri ini punya segalanya, sayangnya kita tak pernah ada kesempatan mencicipinya, hanya segelintir elit bangsa yang punya akses, masyarakat seperti kita hanya dapat satu tetes, itupun apabila menetes dari pilu haru pengorbanan yang tak mendapat akses.
Semua bersuara ingin segera berganti kewarganegaran, padahal tau betul tak semua punya kemampuan bersaing di negeri orang, bahkan di negeri sendiri masih sering melibatkan orang dalam, berharap apa berganti kewarganegaraan di negeri sebrang? Akankah dapat bertahan? Kita harus tau kapasitas yang ada, pemerintahan memanglah bobrok tak karuan, tapi bukan berarti rasa cinta harus sirna karena kecewa, buktikan pada generasi selanjutnya, ada yang bersemangat dan berjasa menyelamatkan bangsa, agar kelak yang mengukir sejarah tak hanya mereka yang tua dan berkuasa, tapi mereka yang muda dan mempunyai asa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H