Indonesia dikenal dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari hutan hujan tropis, tanah subur untuk pertanian, mineral dan tambang, hingga laut yang kaya akan keragaman hayati. Kekayaan ini seharusnya dikelola dengan baik untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun, realitas saat ini menunjukkan pengingkaran terhadap kewajiban negara yang termaktub dalam konstitusi, di mana pengelolaan sumber daya alam sering kali menguntungkan segelintir pihak dan merugikan kesejahteraan rakyat yang seharusnya diberdayakan oleh kekayaan alam Indonesia.
Sebagai implementasi dari konstitusi, undang-undang seharusnya merefleksikan semangat UUD 1945 dan menjamin pelaksanaannya dalam kebijakan publik. Namun, dalam hal pengelolaan sumber daya alam, regulasi semakin menjauh dari amanah Pasal 33 Ayat (3). Salah satu contoh yang mengindikasikan adanya penyimpangan konstitusional adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU ini disahkan oleh DPR pada 12 Mei 2020, di tengah pandemi COVID-19, tanpa partisipasi publik yang cukup dan tanpa mempertimbangkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, organisasi lingkungan seperti WALHI dan JATAM, serta masyarakat adat yang terdampak langsung. Bahkan, uji materi terhadap UU Minerba yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari WALHI, JATAM, dan masyarakat seperti petani dan nelayan, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 64/PUU-XVIII/2020 mengesahkan bahwa UU Minerba tetap berlaku meskipun mendapat kritik luas karena dianggap lebih menguntungkan korporasi tambang besar dan mengurangi kewenangan daerah dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam.
UU Minerba 2020 terdiri dari 174 pasal yang mengatur berbagai aspek pertambangan mineral dan batubara, mulai dari perizinan, kewenangan pemerintah, hingga kewajiban perusahaan. Regulasi ini memperkuat kontrol pemerintah pusat dengan menghapus kewenangan daerah dalam menerbitkan izin usaha pertambangan yang sebelumnya diatur dalam UU Minerba 2009. Berbagai LSM, seperti WALHI dan JATAM, mengkritik UU ini karena memperkuat posisi korporasi tambang, mengabaikan prinsip keadilan ekologis, dan membuka celah eksploitasi yang merugikan masyarakat serta lingkungan. Dalam artikel yang ditulis WALHI pada 2021, Menyoal 4 Masalah UU Minerba yang Merugikan Masyarakat Luas, dijelaskan empat masalah utama dalam UU Minerba: pertama, kemudahan perpanjangan izin usaha pertambangan tanpa evaluasi yang ketat; kedua, penghapusan batasan luas wilayah tambang yang memungkinkan ekspansi tanpa kontrol yang jelas; ketiga, pemindahan kewenangan ke pemerintah pusat yang mempersulit partisipasi masyarakat dalam pengawasan; dan keempat, minimnya perlindungan terhadap hak masyarakat yang terdampak. JATAM menambahkan bahwa UU ini semakin mengabaikan prinsip keberlanjutan dan mempercepat degradasi lingkungan, terutama di wilayah yang selama ini menjadi pusat konflik lahan akibat aktivitas pertambangan.
UU Minerba yang terlalu longgar dan tidak sesuai dengan niat UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) ini membuka ruang bagi berbagai aktor, termasuk pemerintah pusat dan korporasi tambang, untuk beroperasi tanpa memperhatikan amanah konstitusi. Ketimpangan regulasi ini tidak hanya menciptakan celah eksploitasi sumber daya alam yang semakin luas, tetapi juga memicu berbagai kebijakan kontroversial dan praktik penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan segelintir pihak.
Salah satu dampak tersebut adalah tidak diterapkannya windfall profit tax, sebuah pajak khusus yang dikenakan pada suatu komoditas ketika terjadi keuntungan yang tidak terduga, seperti kenaikan harga internasional suatu komoditas. Ekonom terkemuka, almarhum Faisal Basri, telah mengusulkan penerapan windfall profit tax berulang kali. Menurut Faisal Basri, saat harga komoditas seperti batu bara dan nikel melonjak tajam di pasar global, pemerintah pusat seharusnya memanfaatkan kebijakan windfall profit tax untuk menambah kas negara tanpa memberatkan daya beli masyarakat yang semakin menurun. Kas negara yang diperoleh dari skema ini dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanah konstitusi. Dalam artikel terbitan CNBC yang berjudul Apa Itu Windfall Tax? Ini Pengertian & Manfaatnya, Faisal Basri menjelaskan bahwa pada 2022 penerimaan ekspor batu bara di Indonesia mencapai Rp1.000 triliun. Jika berbagai negara menerapkan windfall tax, Indonesia seharusnya dapat memperoleh tambahan sebesar Rp250 triliun.
Namun, mengapa skema windfall profit tax tidak diterapkan di Indonesia? Lembaga swadaya masyarakat, seperti JATAM, menyoroti adanya konflik kepentingan yang melibatkan tokoh-tokoh kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo Subianto, misalnya, diketahui memiliki gurita bisnis di sektor tambang batu bara melalui PT Nusantara Energy yang menjadi holding bagi 27 perusahaan, termasuk PT Nusantara Kaltim Coal dengan luas konsesi 11.040 hektare di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Tidak hanya itu, jabatan kunci di berbagai perusahaan tambangnya diisi oleh orang-orang yang memiliki afiliasi langsung dengan partai politiknya, seperti Hendrik Lewerissa dan Widjono Harjanto, yang juga terlibat dalam tim pemenangan Prabowo pada Pemilu 2024. Dengan luas konsesi yang mencapai ratusan ribu hektare, bisnis tambang Prabowo berpotensi terdampak signifikan oleh penerapan kebijakan windfall profit tax, sehingga muncul dugaan bahwa absennya skema ini tidak terlepas dari kepentingan pribadi dan politik.
Sementara itu, Jokowi dan lingkaran keluarganya juga tidak luput dari sorotan JATAM. Menurut JATAM, Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden RI dan putra mantan Presiden RI, terafiliasi dengan PT Rakabu Sejahtera, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh PT Toba Sejahtra, perusahaan tambang milik Luhut Binsar Pandjaitan, seorang tokoh penting di kabinet dan politik Indonesia. Selain itu, adik ipar Gibran, Bobby Nasution, diketahui memiliki keterkaitan dengan sektor tambang nikel melalui kepemilikan saham di PT Sambas Minerals Mining. Keterlibatan langsung figur-figur ini dalam bisnis tambang memunculkan pertanyaan serius tentang keberpihakan kebijakan pemerintah, terutama dalam hal regulasi yang berdampak pada sumber daya alam. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ketidakberpihakan pemerintah kepada konstitusi sering kali dikaburkan oleh jejaring konflik kepentingan yang mengakar kuat.
Wajar ketika di mata sebagian masyarakat ketidakberpihakan pada konstitusi disimpulkan oleh mereka sebagai dukungan pemerintah terhadap kepentingan elite bisnis dan politik yang mengabaikan prinsip keadilan. Kasus korupsi high profile yang melibatkan Harvey Moeis menjadi salah satu contoh nyata. Harvey Moeis, pengusaha tambang yang terlibat dalam skandal korupsi ekspor timah PT Timah (Persero) Tbk, merugikan negara hingga Rp300 triliun. Harvey Moeis hanya divonis 6,5 tahun penjara dengan alasan sopan selama persidangan, memiliki tanggungan keluarga, belum pernah dihukum, sehingga hakim menilai tuntutan jaksa 12 tahun penjara terlalu tinggi. Kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan, ketidakhadiran supremasi hukum, dan minimnya tanggapan serius dari pemerintah terhadap praktik-praktik korupsi di sektor pertambangan. Padahal, kerugian negara yang begitu besar, hingga ratusan triliun, seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi kebijakan dan memperkuat regulasi di sektor ini.