[caption id="attachment_1585" align="aligncenter" width="240" caption="Timang Beach, Gunung Kidul, Yogyakarta Indonesia (Googlemap)"][/caption] Sekitar pukul 11 siang pada pertengahan bulan Mei di tahun 2011, kami tiba di sebuah pantai bernama Timang. Nama Timang tiba-tiba mengingatkan pada sesosok ibu yang sedang menimang-nimang anaknya. Rasa kasih sayang yang terpancar, ketika si ibu sedang berdendang lagu nina bobo terwakili oleh pemandangan yang indah dari atas bukit. Yang menunjukkan kasih sayang Yang Maha Kuasa pada setiap ciptaan-Nya. Perjalanan kami menyusuri pantai kali ini merupakan perjalanan yang kedua setelah perjalanan pertama yang dilakukan seorang teman pada jalur Wediombo-Timang. Pada perjalanan yang kedua ini kami meneruskan jalur dari Timang menuju Sundak. Sesuai rencana, kami akan tiba di Sundak pada hari minggu selambat-lambatnya pukul 3 sore. Kurang lebih sehari setelah keberangkatan kami pada sabtu pagi. Pantai Timang yang terletak di daerah Gunung Kidul tersebut memiliki keunikan tersendiri. Di pantai tersebut terdapat sebuah kereta gantung yang menghubungkan sebuah tebing dengan pulau yang terletak di dekat pantai. Rasa penasaran mulai menggoda minat saya untuk sekedar menengok bahkan jika perlu menaiki kereta tersebut Kereta gantung ini dibuat dengan sangat sederhana. Hanya bermodalkan tali dan beberapa batang kayu. Amankah? Ya, bagi mereka yang terbiasa memakainya tentu saja. Mereka para nelayan pencari udang atau lobster. Kadang, demi menjaga agar dapur tetap mengepul segi keamanan yang meragukan tidak akan menjadi masalah. Karena utamanya, kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Itulah pilihan yang diambil para pencari udang / lobster di wilayah pesisir pantai Gunung Kidul. Mereka lebih memilih menantang  maut dengan mencari makan menggunakan sebuah kereta gantung ala kadarnya, daripada harus merampok atau mencuri apa yang menjadi hak orang lain. Sebuah pelajaran yang seharusnya dimengerti bagi mereka-mereka yang memiliki taraf hidup lebih baik namun acap kali melakukan kecurangan. Perjalanan kami ke pantai Timang menghabiskan waktu kurang lebih 6 jam dari terminal Giwangan, Yogyakarta. Berangkat sekitar pukul 6 pagi menuju terminal Giwangan, kami segera menaiki sebuah angkutan minibus jurusan Jogja-Wonosari. Minibus yang kami naiki melewati Patuk, Wonosari yang berkelok-kelok. Pada jalur ini kami melewati sebuah spot wisata yang sering ramai didatangi para pasangan muda. Tempat itu bernama Bukit bintang. Objek wisata ini sebenarnya hanyalah sebuah jalan yang berada di tepi sebuah bukit dengan jurang yang cukup dalam di satu sisinya. Sedang pemandangan landscape kota Yogyakarta yang berkelap-kelip ketika malam membuat wilayah ini akhirnya terkenal dengan nama Bukit Bintang. Untuk sampai ke pantai Timang kami harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki selama 3 jam dari tepi jalan beraspal menembus ke jalan pedesaan. Melewati ladang, sawah, pemukiman penduduk yang tidak padat, bahkan hutan. Hal tersebut karena minibus yang kami sewa dari terminal wonosari dengan harga 200.000 untuk 6 orang hanya mampu mengantar kami sampai di tepi desa. Karena jalan mendaki dan menurun beralaskan batu-batu kapur yang tidak rata, tidak mengijinkan minibus untuk melewatinya. Sesampainya di pantai Timang, kami memutuskan untuk berhenti sejenak sambil beristirahat. Menyiapkan bekal dan tenaga untuk meneruskan perjalanan dengan kembali berjalan kaki. Cuaca yang cerah setelah sempat gerimis, membuat kami memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain-main di pantai, yang terbilang masih sepi dari pengunjung. Di pantai tampak beberapa anak kecil sedang memancing. Sambil menunggu hasil pancing, waktu mereka habiskan dengan bermain di pantai. Saling berteriak ketika ombak datang menggulung tinggi, saling tertawa dan bercanda riang bersama gelombang air laut yang datang berarak-arakan. Berbahayakah? Tidak, kata raut wajah mereka yang gembira. Setelah merasa sudah cukup bermain-main di pantai, kami pun segera beranjak kembali ke bukit tempat kami beristirahat. Kurang lebih sudah hampir 1 jam kami bermain-main di sana. Dan kini waktunya makan siang. Menu makan siang kali itu terdiri dari nasi sarden, mie instan dan secangkir kopi hitam. Menu andalan para petualang kata seorang teman. Dan tentu saja beberapa batang tembakau yang mengepul sebagai hidangan pencuci mulut. [] Arkanhendra [caption id="attachment_1587" align="aligncenter" width="300" caption="Beach Boys at Timang Gunung Kidul Indonesia (Dok. Sapusothil Adventure)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H