"Mau ke jakarta mas?" Tanya seorang lelaki berambut gondrong dengan kucir karet. "Oh, iya mas." Jawabku sedikit terkejut. Sebuah awal dari perbincangan yang seru dan mengasyikkan pun terjadi antara saya dan lelaki itu. Penampilannya yang santai dan cenderung cuek dengan celana pendek, ransel 40 liter dipadu sepasang sepatu penjelajah yang terbuat dari kulit membuatku teringat akan seorang kawan. Saya sebut mereka para penjelajah. Sepanjang perjalanan menuju jakarta kami saling bercerita tentang diri dan beberapa hal lainnya. Termasuk tentang ibukota kami, Jakarta. Hiruk pikuk, kesemrawutan dan kehidupan sosial lingkungannya. Pada malam itu kami sepakat, jakarta tetaplah jakarta apapun keadaannya. Selama ini terhitung hanya beberapa kali saya menginjakkan kaki di salah satu kota metropolitan di Indonesia ini. Dan untuk kesekian kalinya merasakan keramahan sebuah kota yang baru saja memilih seorang gubernur baru. Untuk ini saya ucapkan selamat! Jakarta setahu saya adalah kota yang super sibuk. Di sini kita ada hanya untuk bekerja dan bekerja untuk menjadi ada. Jarang sekali dapat meluangkan waktu hanya untuk sekedar ngopi dan nongkrong. Berangkat lebih awal, pulang pun lebih larut. Tak sempat bertegur sapa, atau hanya untuk beramah tamah. Semua orang hidup dalam dunia kecilnya sendiri-sendiri. Baik melalui gadget, atau imajinasi masing-masing. "elo-elo, gue-gue" Hampir seminggu merasakan keriuhan jakarta membuat saya kembali berpikir ulang tentang kota yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat perkembangan ini. Benarkah gambaran yang selama ini saya peroleh tentang kota ini? Ataukah saya telah menjadi orang kebanyakan? Menilai sesuatu dari yang tampak tanpa melihat dari sisi yang lain? Dari beberapa tempat yang sempat saya kunjungi, membuat saya harus me-restart pandangan saya. Siapa bilang di kota yang super sibuk ini tidak bisa bersantai? Siapa bilang di kota yang katanya sudah semrawut akut ini kita tidak bisa menghela nafas barang sesaat? Mungkin kitalah yang terlalu cuek , acuh tak acuh. Bukan karena tidak bisa. Singkatnya semua kembali ke pribadi setiap individu memandang lingkungan sekitar. Memang sebuah jawaban yang klise. Ketika setiap akar masalah yang ada tidak selalu bersumber dari lingkungan namun justru dari sistem itu sendiri. Dulu pernah saya berujar tidak akan pernah hidup di jakarta. Karena efek egois dan ketidaktahuan belaka. Saya sadar tidak selamanya yang putih itu terang dan yang hitam pun kelam. Sama seperti ketika kita melihat beberapa isu nasional yang sedang ramai dibicarakan, salah satunya perseteruan antara KPK dan polisi beberapa waktu lalu. Apakah benar polisi yang salah dan KPK yang benar? Apakah ini tepat dan apakah itu yang lebih akurat. Kita harus melihat lebih jujur. Setelah selama 168 jam "bertamasya" di ibukota, saya mendapat sebuah pandangan dan pengalaman baru. Benar adanya jika jakarta merupakan kota yang kejam sekaligus elegan, mewah dan tidak diperuntukkan kepada mereka yang lemah. Tapi tidak salah juga ketika kita melihat jakarta sama dengan kota-kota lain di jawa, asyik dan menyenangkan. Hanya cara melihat kita yang berbeda-beda. Terima kasih buat kawan-kawan di jakarta atas keramahan dan kesediaannya untuk saya buat repot. Pesan saya, nikmati hidup meski kita sedang di bawah dan selalu waspadalah ketika kita beruntung berada di atas. Salam, Arkanhendra. *berikut beberapa dokumentasi tentang #Ibukota. [caption id="attachment_213779" align="alignleft" width="491" caption="Menuju jakarta dengan sejuta mimpi, lempuyangan - senen (sketch. Arkanhendra)"][/caption] [caption id="" align="alignnone" width="500" caption="kiri: Penyanyi di halte kota tua. kanan: Seorang bapak di stasiun senen (sketch. Arkanhendra)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H