Mohon tunggu...
Arkandiptyo
Arkandiptyo Mohon Tunggu... -

Pelajar kehidupan di ibu kota eropa (brussels, Belgia)... Walau sudah bisa berbahasa Inggris, Prancis, Ceko dan Serbia, tetap tak bisa move on dari Indomie, Kerupuk dan Sambel setelah lari pagi 5km. Semua sambil diiringi mendebat isu terkini, atau sekadar mengamati kehidupan khayalak umum

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kita Sudah Terbiasa - Antara Aksi Teror Jakarta dan Brussels

16 Januari 2016   19:58 Diperbarui: 16 Januari 2016   20:07 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meme #KamiTidakTakut, Indonesia Berani Lawan Teror

Lari kamis pagi di Parc Royale, Brussels kali itu tampak biasa. Kemudian...


DUAR!
Refleks menggelitik semua bagian badan. Anehnya, enam bulan di Brussels yang sudah pernah di lockdown, alias: “mematikan total infrastruktur kota secara sengaja” ketika hal serupa terjadi - tidak mematikan ke“Kepo”an khas Indonesia. Saya justru mulai jogging ke arah suara tersebut, sama dengan kemana pak polisi dan semua jurnalis itu mulai berlarian. Saya ingin tahu. Saya ingin update.

Ndhasmu lik, tenane memang pancen wong Indonesia, bukannya kabur, malah mendekat ingin tahu.

Dan di detik itu batin saya tertawa - mungkin ini kenapa, setelah bom di Sarinah nun jauh, yang ada hanyalah selfie, sate yang jualannya malah laris, dan kerumunan penonton dalam radius 100 meter para pengebom.

Karena memang kita telah terbiasa - terbiasa kepo, terbiasa ingin update ke lingkaran kenalan, yang dimasa kini menjelma dalam bentuk media sosial. Semua berlaku walau menyoal tragedi yang merebut nyawa sesama. Entah itu pengeboman, entah itu kecelakaan kereta api.

Kembali ke Parc Royale kamis pagi itu, salah satu pak polisi masih menghadang saya.
“Monsieur cest une situation precarieuse de la securite publique. Cest interdit ici, continuer votre course la-bas sil vous plait”

Intinya memang soal keamanan yang terlarang untuk mata rakyat biasa macam saya. Ah! Namun keinginan dalam diri membuat saya banter satu dua kalimat sebelum akhirnya melanjut lari pagi saya. Tetap tak dinyana, kepala saya tetap mengamati dari jauh gerak gerik para polisi, wartawan dan tentara di sana - tepat di blok dimana gedung NATO berada. Sementara itu, sirene polisi mulai berdatangan dari segala penjuru.

Konteks kejadian itu memang aneh; di gedung NATO, persis satu tikungan dari Palais Royal alias Istana Raja Belgia. Sementara di istana sana, semua mobil plat CD berjejeran. Cukup sekelabat mata saya menangkap dari kejauhan, lampu-lampu chandelier kristal dalam Istana sedang menyala, sementara gerbang istana diberi plat hijau dan ungu; protokoler ketika sedang berlangsung acara didalam sana. Harus saya akui tempat lari pagi saya memang mewah; taman yang dikelilingi istana, gedung DPR, NATO, kedubes amerika dan semua kekuatan dunia lainnya. Walau mahasiswa kere, larinya harus tetap berkelas (tampol!)

Satu putaran jogging kemudian, ditambah sedikit tanya jawab dengan wartawan terdekat, barulah saya mengerti semua itu hanya simulasi. Pintar sangat, sekali dayung dua pulau terlewati - sambil para dubes itu sedang dijamu sang raja didalam sana, para polisi dan tentara bisa simulasi di jejeran kedubes yang kini lengang tersebut. Dan dalam simulasi, walau jumlah wartawan polisi dan tentara menjadi sangat disproporsional dengan orang biasa yang melintas; sedikit sekali orang yang kemudian menonton. Memang Brussels pagi itu dilanda awan kelabu dan dingin. Memang daerah itu bukan daerah turis, tapi tetap banyak yang bekerja di daerah itu dan harus melintasinya. Magisnya, ketika dialihkan oleh pak polisi yang menjaga perimeter, mereka hanya mengiyakan. Mereka tidak bertukar kata layaknya saya, (yang tentunya membuat pak polisi agak kesal) sebelum menuju ke arah yang ditunjuk. Mereka mungkin bertanya dalam hati, tapi apa lah daya kata pak polisi.

Suatu kondisi yang mustahil di Indonesia sekarang ini.  Mungkin, karena kita sudah terbiasa - terbiasa bertanya, terbiasa tidak berjarak dengan aparat, kecuali ketika mereka bawa pentungan layaknya Satpol PP atau ketika jalanan jelas-jelas ditutup untuk acara. Teringat zaman SMA dulu, hari sabtu itu kami hanya latihan menabuh rongsokan menjadi musik seperti biasa, di ujung lapangan simulasi kebakaran terjadi. Para pramubakti dan guru yang ada hari itu ikut menonton. Bukan di pinggir lapangan, bukan, tapi di dalamnya, di radius yang masih bisa terkena asap ataupun busa pemadam api.

Kita memang kaum yang benar-benar ingin tahu dan menjadi saksi dengan mata kepala sendiri. Sebuah atribut dan nilai bangsa kita yang seharusnya, jika disalurkan dengan benar, dapat menjadi positif nan produktif!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun