Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk memastikan akses kesehatan yang adil dan merata. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan hal yang sebaliknya. Penolakan pasien BPJS oleh fasilitas kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta, menjadi isu serius yang terus memunculkan polemik. Â
REGULASI YANG KUAT, IMPLEMENTASI YANG LEMAH Â
Regulasi terkait kewajiban fasilitas kesehatan dalam melayani pasien BPJS sebenarnya cukup jelas. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menegaskan bahwa pasien BPJS, terutama dalam kondisi darurat, harus mendapatkan pelayanan tanpa diskriminasi. Bahkan, Pasal 32 ayat (2) UU Kesehatan menyatakan bahwa fasilitas kesehatan dilarang menolak pasien darurat tanpa menanyakan biaya terlebih dahulu.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa regulasi ini belum sepenuhnya dijalankan. Penolakan pasien BPJS sering kali terjadi dengan alasan teknis, seperti kurangnya ruang rawat inap, peralatan medis yang tidak memadai, atau tenaga kesehatan yang terbatas. Selain itu, ada juga faktor administratif, seperti klaim yang dianggap rumit dan lambat, serta besaran tarif INA-CBGs yang dianggap terlalu rendah oleh beberapa rumah sakit.
KETIKA HAK PASIEN DIPERTARUHKAN
Penolakan terhadap pasien BPJS tidak hanya mencerminkan persoalan administratif atau teknis, tetapi juga membawa dampak sosial yang signifikan. Ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan ini menciptakan kesenjangan yang semakin melebar antara kelompok masyarakat yang mampu membayar layanan kesehatan secara mandiri dan mereka yang mengandalkan BPJS. Akibatnya, masyarakat dari golongan ekonomi lemah sering kali kehilangan akses terhadap hak kesehatan yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Dari sisi etika, situasi ini menempatkan tenaga kesehatan dalam posisi dilematis. Sebagai profesi yang menjunjung tinggi kode etik untuk mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan pasien, mereka dihadapkan pada tekanan kebijakan rumah sakit yang kerap kali lebih mementingkan keuntungan finansial dibandingkan kebutuhan pasien..
MENATA ULANG SISTEM DEMI KEADILAN PASIEN BPJS
Untuk menjawab tantangan dalam pelayanan pasien BPJS, diperlukan langkah-langkah konkret dan terintegrasi dari berbagai pihak. Pemerintah harus mengevaluasi sistem tarif INA-CBGs yang selama ini menjadi keluhan banyak fasilitas kesehatan. BPJS Kesehatan perlu menyederhanakan proses klaim dan mempercepat pembayaran untuk mengurangi beban administrasi yang kerap menjadi alasan penolakan pasien.Â
Namun, solusi administratif saja tidak cukup. Fasilitas kesehatan juga harus memperkuat pemahaman tenaga medis dan staf administrasi tentang pentingnya melayani pasien BPJS secara setara. Pelatihan berkala tentang hak pasien, regulasi, dan standar etika profesi harus menjadi prioritas. Di sisi lain, pengawasan yang lebih ketat dan penerapan sanksi bagi fasilitas yang melanggar aturan perlu dilakukan untuk mendorong kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.Â
Harapannya, tercipta sistem kesehatan yang inklusif dan berkeadilan. Sistem ini tidak hanya mengutamakan kepentingan finansial, tetapi juga menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu. Dengan kerja sama yang erat antara pemerintah, BPJS Kesehatan, dan fasilitas kesehatan, pelayanan yang adil dan merata dapat menjadi kenyataan, bukan sekadar janji di atas kertas. Â Reformasi ini dilakukan dengan serius, maka prinsip "kesehatan untuk semua" dapat terwujud, membawa harapan baru bagi jutaan peserta BPJS di seluruh negeri.