Menurut buku "Nikel Indonesia" karya Prof. Dr. Ir. Irwandy Arif, M.Sc., nikel adalah unsur logam alami yang berkilap dan berwarna putih keperak-perakan. Nikel merupakan salah satu dari lima unsur logam yang paling umum ditemui di kerak bumi dan memiliki konduktivitas listrik dan panas yang baik karena sifatnya sebagai logam. Sumber daya nikel secara alami terbagi menjadi 60% laterit dan 40% endapan sulfida, dengan total cadangan global sekitar 74 juta metrik ton. Di Indonesia, terdapat sekitar 4,5 juta metrik ton cadangan nikel, dengan banyak bijih nikel laterit tersebar di Pulau Sulawesi, Maluku, Halmahera, Papua, dan Kalimantan. Pusat industri tambang nikel terletak di Morowali dan Morowali Utara di Sulawesi. Mayoritas produksi nikel di Indonesia diekspor ke Tiongkok, Jepang, Eropa, dan Amerika dalam bentuk bijih nikel, nikel matte, feronikel, dan NPI (niclek pg iron).Top of Form
Nikel pada masa sekarang ini banyak sekali dimanfaatkan untuk berbagi bahan dasar utama yang cukup diminati oleh banyak pengusaha pengusaha di dunia karena Nikel memegang peranan krusial dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dan juga menjadi bahan dasar untuk lebih dari 300.000 produk industri, militer, transportasi, penerbangan, kelautan, dan arsitektur. Salah satu penggunaan utama nikel adalah sebagai komponen dalam logam paduan, terutama dalam pembuatan baja tahan karat. Logam paduan ini sangat umum digunakan dalam peralatan rumah tangga seperti panci, wajan, dan sendok. Selain itu, nikel digunakan dalam industri otomotif, transportasi minyak dan gas, peralatan medis, bidang farmasi, serta dalam industri makanan dan minuman.
Apalagi akhir akhir ini dikarenakan marak nya pengguna mobil Listrik menjadikan nikel semakin banyak dicari oleh dunia
negara kita Indonesia telah mengambil langkah untuk memulai program hilirisasi nikel dan melarang ekspor bijih nikel. Namun, kebijakan tersebut telah menimbulkan gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Meskipun demikian, Indonesia memiliki cadangan mineral kritis berupa nikel yang cukup besar. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, nilai ekspor produk nikel hasil hilirisasi telah meningkat signifikan, mencapai USD33,81 miliar pada tahun 2022, yang merupakan peningkatan sebesar 745% dibandingkan dengan ekspor pada tahun 2017 ketika Indonesia hanya mengekspor bijih nikel mentah. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong program hilirisasi dalam negeri, dengan menghindari penjualan bahan mentah ke luar negeri.
Namun dibalik projek kemajuan teknologi dan perekonomian tersebut ternyata menghasilkan dampak yang serius bagi lingkungan sosial dan ekosistem Seperti Deforestasi pada kawasan hutan yang sudah tidak sesuai dengan ketentuan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan juga kerusakan ekosistem pesisir terjadi karena tidak diantisipasi dengan baik melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum pelaksanaan kegiatan pertambangan itu dilaksanakan.
Seperti yang terjadi di lima Desa di Pulau wawoni’I Warga di Pulau Wawoni’i, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara mengeluhkan kesulitan mendapatkan air bersih. Wawonii adalah sebuah pulau kecil dengan luas 867,58 kilometer persegi.
Amlia, seorang ibu rumah tangga di pulau itu mengungkapkan dari jumlah empat mata air, tiga diantaranya sudah tercemar oleh lumpur dampak dari penggalian penambangan nikel
“Mata air itu sudah tidak bisa lagi dipakai oleh warga karena sudah tercemar, bukan air lagi yang keluar, sudah lumpur, jadi kita sekarang sudah kesusahan air,” kata Amlia dalam konferensi pers secara daring, Amlia mengatakan kini untuk mendapatkan air bersih dirinya harus menempuh jarak lima kilometer ke desa lainnya yang masih terdapat sumber mata air yang belum tercemar. Warga juga mengupayakan cara lain untuk mendapatkan air meskipun tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Dapat dilihat bahwa Industri pertambangan nikel memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan masyarakat. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan perlindungan lingkungan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dan bahkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kerusakan lingkungan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, sebagai regulator, pemerintah seharusnya mempertimbangkan potensi dan ancaman terhadap lingkungan serta memastikan keseimbangan dan kelestarian alam dalam setiap kebijakan yang diambil. Hal ini penting karena eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak lingkungan dapat memiliki konsekuensi negatif yang merugikan baik bagi lingkungan maupun masyarakat secara luas. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengarahkan kebijakan mereka dengan memperhatikan etika lingkungan, sehingga kegiatan pertambangan tidak merusak lingkungan dan dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H